BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Seiring perkembangan ilmu
pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Islam,
terutama dalam ilmu hadits. Banyak
sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan
sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat
jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan
itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari
berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja.
Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau
dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan
tinjauan pembagian hadits,
maka pada bahasan ini hanya akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas
dan segi kualitas hadits saja.
B. Rumusan Makalah
1. Bagaimana Pembagian Hadits dari segi kuantitas?
2. Bagaimana Pembagian Hadits dari segi
kualitas?
C. Tujuan Makalah
Agar kita mengetahui pembagian Hadits
ditinjua dari segi kuantitas dan kualitas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hadits Ditinjau Dari Segi kuantitas
Para ulama hadits berbeda
pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah
perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan
menjadi tiga bagian, yakni hadits Mutawatir, Masyhur, dan Ahad.
Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur
sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dianut oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr
Al-Jassas
(305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama Ushul
dan ulama Kalam. Menurut mereka, hadits Masyhur bukan merupakan
hadits yang
berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits Ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits Mutawatir dan Ahad.[1]
Berdasarkan pembagian ini, maka hadits Masyhur, hadits Aziz, dan
Hadits Garib merupakan bagian dari Hadits Ahad.[2]
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir
menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berturut-turut, dengan
tidak ada jaraknya.[3]
Sedangkan pengertian mutawatir secara terminiologis, terdapat beberapa definisi
:
ما
رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
“hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat
mustahil mereka bersepakat untuk berdusta"[4]
ما رواه جمع عن جمع تحيل
العادة تواطؤهم علي الكذب
“Hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang dan diterima dari banyak orang pula, yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta”
الذي رواه جمع كثير لايمكن تواطؤهم
علي الكذب عن مثلهم الي انتهاء السند و كان مستندهم الحسّ
“Hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak mungkin mereka bersepakat
untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad. Hadits yang diriwayatkan
itu didasarkan pada pengamatan panca indra”[5]
Dari definisi-definisi di atas, hadits mutawatir harus
mempunyai empat kategori, yaitu[6]:
1.
Hadits harus diriwayatkan oleh banyak orang
2.
Hadits itu harus diterima dari banyak orang pula
3.
Ukuran banyak di sini jumlahnya relatif (dengan ukuran berdasarkan sudut
pandang kebiasaan masyarakat, bahwa mereka tidak mungkin sebelumnya melakukan
kesepakatan untuk berdusta)
4.
Hadits itu diperoleh melalui pengamatan panca indra, bukan atas dasar
penafsiran mereka
b.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Mengenai syarat-syarat Mutawatir hanya dibicarakan
oleh para ulama mutaakhirin. Syarat-syarat itu pun bukan berkaitan
dengan kualitas sanad-sanadnya, melainkan hanya pada jumlah
kuantitasnya. Sedangkan para ulama mutaqaddimin tidak membicarakan hal
itu sama sekali.
Syarat-syarat hadits mutawatir menurut ulama mutaakhirin, yaitu:[7]
1.
Diriwayatkan oleh banyak perawi
Dalam hal ini, ada para ulama yang menentukan jumlah
tertentu dan ada yang tidak menetapkan jumlah tertentu. Menurut ulama yang
tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut
kebiasaan dapat memberi keyakinan terhadap kebenaran apa yang diberitakan dan
mustahil mereka berdusta. Sedangkan para ulama yang menentukan jumlah tertentu,
mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu. Ada yang menyebutkan harus
lebih dari 4, sedangkan Al-Qadi Baqillani menetapkan 5 orang kerena beliau
mengqiyaskan kepada jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi. Astikhary
menetapkan paling baik minimal 10 orang kerena jumlah 10 itu merupakan awal
bilangan banyak. Ulama lain menentukan 12 orang kerena berdasarkan firman Allah
dalam surah Al-Maidah ayat 12 (“...dan telah kami angkat di antara mereka 12
pemimpin...”). sebagian ulama lainya
menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan surah al-Anfal ayat 65
(“...jika ada 20 orang yang bersabar di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan 200 orang musuh...”). ada juga yang mengatakan minimal 40 orang
kerena berdasarkan firman Allah surah al-Anfal ayat 64. Dan ada juga yang
menentukan 70 orang kerena berdasarkan firman Allah surah Al-A’raf ayat 155,
yang menyebutkan bahwa Nabi Musa as memilih 70 orang dari kaumnya untuk ikut
memohonkan ampun kepada tuhan-Nya.
2.
Adanya keyakinan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat
untuk berdusta
Dengan syarat ini memberi kejelasan, bahwa penentuan
jumlah-jumlah tertentu, bukan ukuran pokok untuk menetapkan suatu hadits
mutawatir. Yang menjadi ukurannya ialah apakah dengan jumlah orang-orang yang
membawa berita itu sudah mencapai ilmu dharuri atau belum, artinya sudah
memberikan kepastian akan kebenaran berita yang dibawanya atau belum, apakah
diantara mereka mungkin melakukan kesepakatan dusta atau tidak.
3.
Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada
tiap-tiap thabaqahnya
Jumlah sanad hadits Mutawatir antara satu thabaqah
(tingkatan) dengan thabaqah lainnya harus seimbang. Misalnya, jika sanad
pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada thabaqah berikutnya
juga masing-masing harus 10 atau 9 atau 11 orang.
4.
Berdasarkan tanggapan panca indera
Berita yang disampaikan oleh perawi sebagai pembawa
berita harus berdasarkan hasil pengamatan panca indra. Artinya bahwa berita
yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengarannya, penglihatannya,
penciumannya, atau sentuhannya.
c.
Pembagian Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir terbagi kepada dua bagian, yaitu mutawatir
lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada di antara para ulama yang
membagi kepada tiga bagian, yaitu mutawatir lafzhi, ma’nawi dan amali.[8]
1.
Mutawatir lafzhi
ما توافر معناه و لفظه
“Hadits yang
mutawatir lafazh dan maknanya[9]”
Atau
hadits yang diriwayatkan oleh banyak para perawi sejak awal sampai akhir sanadnya,
dengan memakai lafazh yang sama.
Menurut
para ulama, hadits mutawatir lafzhi jumlahnya sangat sedikit.[10]
Contoh hadits mutawatir lafzhi :
من كذب عليّ متعمد فليتبوّأ مقعده من النار
“Barang
siapa yang dengan sengaja berbuat dusta atas namaku, niscaya ia menempati
tempat duduknya dari api neraka”
2.
Mutawatir Ma’nawi
ما توافر معناه دون لفظه
“Hadits yang
maknanya mutawatir, tanpa dengan lafazhnya[11]”
Atau
hadits yang periwayatannya disepakati maknanya, akan tetapi lafazhnya tidak.
Contoh
mutawatir ma’nawi sangat banyak di antaranya tentang ar-ruy’at, bilangan
rakat dalam shalat dan lainnya.[12]
3.
Mutawatir amali
Mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan
mudah bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam
bahwa Nabi SAW mengerjakannya, menyuruhnya dan selain dari itu.
Macam jumlah hadits mutawatir amali ini banyak jumlahnya,
seperti shalat janazah, shalat ied, pelaksanaan haji, kadar zakat dan
lain-lain.[13]
d.
Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri,
yakni suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkan isinya.
Dikatakan ibn Taimiah, barang siapa menyakini
kemutawatiran suatu hadits, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan
mengamalkan sesuai dengan kandungan isinya. Sedangkan orang yang belum
mengetahui kemutawatirannya, baginya hendaklah mengikuti dan menyerahkan kepada
orang yang telah mensepakati kemutawatiran hadits tersebut.[14]
2.
Hadits Ahad
a.
Pengertian Hadits Ahad
Secara bahasa kata ahad atau wahid berarti
satu. Maka khabar ahad atau khabar wahid adalah suatu berita yang
disampaikan oleh satu orang.[15]
Sedangkan
hadits ahad
menurut definisi singkat :
ما
لم يجمع شروط المتواتر
“Hadits yang
tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”
Ulama lain mendefinisikan dengan hadits yang sanadnya
shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (nabi SAW) tetapi
kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.
Dari dua definisi di atas ada dua hal yang harus digaris
bawahi, yaitu:
1.
Dari sudut kuantitas perawinya, hadits ahad berada dibawah kuantitas
hadits mutawatir.
2.
Dari sudut isinya, hadits ahad memberi faedah zhanni bukan qath’i
Menurut jumhur
ulama baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, serta para ulama sesudahnya,
baik dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih, maupun ahli ushul berpendapat bahwa
hadits ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah, yang wajib diamalkan.
Kewajiban beramal dengannya didasarkan atas kewajiban syar’i bukan atas
dasar aqli.
Sedangkan golongan
Qadariyah, Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir berpendapat bahwa beramal
dengan dasar hadits ahad hukumnya tidak wajib. Diantara mereka ada yang
berpendapat, bahwa kewajiban beramal dengan hadits macam ini adalah berdasarkan
dalil aqli.[16]
b.
Pembagian Hadits Ahad
Dalam hadits ahad terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: hadits Masyhur,
hadits Aziz dan hadits Gharib.
1.
Hadits Masyhur
Hadits
masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu artinya sesuatu yang
tersebar dan populer.[17]
Sedangkan menurut istilah :
ما رواه ثلاثة فأكثر ما لم يبلغ حد التواتر
“Hadits yang
diriwayatkan dua orang atau lebih tetapi tidak sampai batasan mutawatir”
Dari
sudut kualitasnya, dapat dibagi menjadi :
a.
Hadits Masyhur Shahih, yaitu Hadits Masyhur yang memenuhi
syarat-syarat keshahihannya. Maka Hadits Masyhur Shahih dapat dijadikan hujjah.
Contohnya :
من أتي الجمعة فاليغتسل
“Barang siapa
yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat, hendaklah ia mandi.”
b.
Hadits Masyhur Hasan, yaitu hadits masyhur yang kualitas
perawinya di bawah hadits masyhur yang shahih. Contohnya:
طلب العلم فريضة علي كل مسلم
“Menuntut
ilmu wajib bagi setiap muslim”
c.
Hadits Masyhur yang dhaif artinya Hadits Masyhur yang tidak memiliki
syarat-syarat atau kurang salah satu syaratnya dari syarat hadits shahih. Dan
tidak dapat dijadikan hujjah. Contohnya:
من عرف نفسه فقد عرف ربّه
2.
Hadits Aziz
Aziz menurut bahasa berarti mulia, kuat,
atau sedikit. Secara terminologis, aziz didefinisikan :
ما لا يرويه اقلّ من اثنين عن اثنين
Hadits
yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang perawi diterima dari dua orang pula[19]
Sebagaimana hadits
Masyhur, hadits aziz terbagi kepada shahih, hasan dan da’if. Pembagian ini
tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan atau
syarat-syarat yang berkaitan dengan kualitas ketiga kategori tersebut.
Contohnya :
لا
يؤمن أحدكم حتّي أكون أحبّ إليه من نفسه و والده و ولده و الناس أجمعين
“Tidaklah
beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai dari pada dirinya,
orang tuanya, anaknya dan semua manusia”
(H.R. al-Bukhari dan Muslim)[20]
3.
Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-Munfarid artinya
menyendiri atau al-Ba’id an Aqaribihi artinya jauh dari kerabatnya. Sedangkan
Secara terminologis, gharib didefinisikan :
ما ينفرد بروايته راو واحد
“Hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya”[21]
Ada
dua macam pembagian Hadits Gharib, yaitu :
1.
Dilihat dari sudut bentuk penyendirian perawi
a.
Hadits Gharib Muthlaq artinya penyendirian itu terjadi berkaitan dengan
keadaan jumlah personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan
Hadits tersebut, kecuali dirinya sendiri.
b.
Hadits Gharib Nisbi artinya penyendirian itu bukan pada perawi atau
sanadnya, melainkan mengenai sifat atau keadaan tertentu, yang berbeda dengan
dengan perawi lainnya.
2.
Dilihat dari sudut kaitannya antara penyendirian pada sanad dan matan.
a.
Gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama, yaitu hadits Gharib yang
hanya diriwayatkan oleh salah satu silsilah sanad, dengan satu matan haditsnya.
b.
Gharib pada sanad saja, yaitu hadits yang telah populer dan diriwayatkan
oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkan dari salah
seorang sahabat lain yang lain yang tidak populer.[22]
Sebagaimana hadits
masyhur dan Aziz, dari sudut kualitasnya, Hadits Gharib juga terbagi kepada
shahih, hasan dan dha’if.[23]
B.
Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas
Sebagiamana telah dikemukakan
bahwa hadits muatawatir memberikan
pengertian kepada yaqin bi Qat’i,
artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir
(persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan
mustahil mereka sepakat berdusta kepada Rasulullah SAW. Oleh
kerena kebenaran sumber-sumbernya telah menyakinkan, maka ia harus diterima dan
diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan baik terhadap
sanad maupun matan. . Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni
(dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan
penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits
tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits
membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi dua bagian, yaitu hadits maqbul
dan hadits mardud.[24]
a. Hadits Maqbul
Maqbul menurut
bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) dan musaddaq (yang dibenarkan atau
diterima). Sedangkan menurut istilah :
ما
توافرت فيه جميع شروط القبول
Hadits
yang telah sempurna seluruh syarat penerimaannya
Dari definisi di atas, bahwa suatu hadits dikatakan maqbul apabila telah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu itu ada yang berkaitan dengan sanad dan ada
juga yang berkaitan dengan matan. yang berkaitan dengan sanad, yaitu:
1.
Sanad-sanadnya harus bersambung
2.
Masing-masing sanad tersebut harus adil dan dhabit
3.
Tidak ada illat yang mencacatkannya
Sedangkan yang berkaitan dengan matan adalah tidak boleh
ada kejanggalan (syudzudz) dalam matannya.
Dalam hal ini,
tidak semua hadits maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga tetapi ada juga
yang tidak boleh diamalkan. Dengan kata
lain hadits ada yang ma’mulun bih dan ada juga ghair Ma’mulun bih.
Yang termasuk hadits ma’mulun bih :
1.
Yang Muhkam, yaitu hadits yang telah memberikan pengertian jelas.
2.
Yang Mukhtalif, yaitu hadits yang dapat dikompromikan dari dua buah hadits
shahih atau lebih yang dari sudut zhahirnya mengandung pengertian yang
bertentangan.
3.
Yang rajih, yaitu hadits yang lebih kuat dari dua buah hadits shahih yang
nampak bertentangan.
4.
Yang Nasikh, yaitu hadits yang me-nasakh (menghapus) ketentuan hadits yang
datang terdahulu.
Sedangkan yang termasuk ghair Ma’mulun :
1.
Yang marjuh,yaitu hadits yang kuhujjahannya dikalahkan oleh hadits yang lebih
kuat.
2.
Yang mansukh, yaitu hadits yang datang terdahulu, yang ketentuan hukumnya
telah dinasakh atau dihapus oleh hadits yang datang kemudian.
3.
Yang mutawaquf fih, yaitu hadits yang kehujjahannya ditangguhkan, kerena
terjadinya pertentangan antara satu hadits dengan hadits lainnya yang belum
dapat diselesaikan[25].
Secara umum, ketentuan hadits maqbul dapat digolongkan
menjadi shahih dan hasan.
1.
Hadits Shahih
Shahih
menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang
sempurna. Sedangkan menurut terminologis :
الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل
الضابط حتي ينتهي إلي رسول الله صلي الله عليه و سلم أو إلي منتهاه من صحابي أو من
دونه ولا يكون شاذا ولا معللا
Hadits
yang disandarkan kepada Nabi SAW yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
perawi yang adil dan dhabith, diterima dari perawi yang adil dan dhabith hingga
sampai kepada pada akhir sanad yaitu Nabi SAW atau orang setelahnya baik dari
sahabat atau tabi’in dan tidak ada kejanggalan dan tidak berillat.[26]
Berdasarkan
definisi di atas, hadits shahih harus memenuhi lima syarat, yaitu:
1.
Diriwayatkan oleh para perawi yang adil.
Seseorang
dikatakan adil apabila memiliki sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya
ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan-Nya, baik akidahnya, terpelihara dirinya dari dosa besar dan
terpelihara akhlaknya termasuk dari hal-hal yang menodai muru’ah, disamping itu
ia harus muslim, baligh, berakal sehat dan tidak fasik.
Keadilan
para perawi di atas, menurut ulama dapat diketahui melalui :
a.
Keutamaan kepribadian nama perawi itu sendiri yang terkenal dikalangan
ulama hadits, sehingga keadilannya tidak diragukan lagi.
b.
Penilaian dari para ulama lainnya yang melakukan penelitian terhadap para
perawi tentang keadilan perawi-perawi hadits.
c.
Penerapan kaidah al-jarh wa at-ta’dil apabila terjadi perbedaan pendapat di
antara para uluma penelitian terhadap perawi-perawi tertentu.
Sedangkan keadilan para sahabat tidak diragukan lagi,
sehingga terhadap mereka tidak perlu dilakukan penelitian lagi.
2.
Kedhabithan para perawinya harus sempurna.
Perawi
harus baik hapalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu-ragu, dan tidak banyak
tersalah sehingga ia dapat mengingat dengan sempurna hadits-hadits yang
diterima dan diriwayatkannya.
3.
Antara satu sanad dengan sanad lainnya bersambung (muttashil).
Yang
dimaksud muttashil ialah si pembawa hadits dan penerimanya terjadi
pertemuan langsung. Sehingga menjadi suatu silsilah yan sambung menyambung,
sejak awal sanad kepada sumber hadits itu sendiri. Untuk membuktikan apakah
sanad-sanad tersebut bersambung atau tidak, di antaranya dilihat bagaimana
keadaan usia masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya
memungkinkan bertemu atau tidak, selain itu, bagaimana pula cara menerima atau
menyampaikan.
4.
Tidak mengandung cacat atau illat.
Illat
adalah suatu sebab yang tiadak tamapk atau samar-samar yang dapat mencacatkan
keshahihan suatu hadits.
5.
Tidak janggal atau syadz.
Syadz ialah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain
yang sudah diketahui tinggi kualitas keshahihannya.
Hadits shahih
terbagi dua :
a.
Hadits shahih li-Dzatih, yaitu hadits
yang memiliki lima syarat atau kriteria di atas.
b.
Hadits shahih li-ghairih,
yaitu hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain.
Para ulama
berpendapat bahwa hadits yang shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
syariat Islam.
2.
Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan
dicondrongi oleh nafsu. Sedangkan dalam hadits berarti hadist yang baik. Secara
terminologis :
ما اتصل سنده بنقل عدل خفيف الضبط و سلم من الشذوذ و العلة
Hadits yang bersambung sanadnya dengan diterima perawi
yang kurang dhabi’th tetapi selamat dari illat dan syadz
Syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih
kecuali pada syarat dhabith, pada pada hadits hasan, perawinya dhabithnya
(hafalannya) tidak sebaik atau dibawah hadits shahih.
Seperti hadits shahih, hadits hasan juga terbagi kepada
dua bagian :
a. Hasan li-Dzatih, yaitu hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits
hasan yang lima, akan tetapi daya ingatan atau kekuatan hafalan mereka belum
sampai kepada derajat hafalan perawi yang shahih.
Hasan li-Dzatih
bisa naik kualitasnya menjadi shahih li-ghairih apabila ditemukan hadits
lain yang menguatkan kandungan matannya atau adanya sanad lain
yang juga meriwayatkan hadits yang sama (syahid atau mutabi).
b. Hasan li-ghairih, yaitu hadits yang menduduki kualitas hasan kerena
dibantu oleh keterangan lain, baik kerena adanya syahid atau mutabi.
Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan
juga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus
diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pendapat dalam soal penetapan rutbah
(urutan), yang disebabkan kualitasnya masing-masing.
3. Hadits Mardud
Mardud
menurut bahasa berarti ditolak atau tidak diterima. Sedangkan mardud
menurut istilah :
فقد
تلك الشروط او بعضها
“Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagian syarat
hadits maqbul”
Tidak
terpenuhinya persyaratannya bisa terjadi pada sanad dan matan. Yang
termasuk hadits mardud diantaranya hadits dha’if.
1. Hadits Dha’if
Dhaif menurut bahasa berarti lemah. Sedangkan menurut
istilah :
ما لم يوجد فيه شروط الصحة و لا شروط الحسن
“Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat
Shahih dan syarat-syarat hasan”
Para
ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi
menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits
dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al
a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas
dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu
Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits
dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam
masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat
bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits
dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji
yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu
berikut :
·
Tidak terlalu dhaif, seperti diantara
perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang
yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik
dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
·
Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan
(ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi
pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada
hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan
oposisinya).
·
Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits
dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
Para
ulama menemukan keda’ifan hadits itu pada tiga bagian, yaitu pada sanad,
pada matan dan pada perawinya. Mereka membagi dan menguraikannya
ke dalam beberapa hadits dha’if.
a. Dha’if dari sudut sandaran matannya
Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits Dha’if
dari sudut persandarannya, segala hadits yang mauquf dan yang Maqtu.
1. Hadits mauquf
ما روي عن الصحابي من قول او فعل او تقرير
“Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir (penetapan)”
2. Hadits Maqtu
ما روي عن التابعين من قول او فعل او تقرير
“Hadits yang diriwayatkan dari para tabi’in berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir (penetapan)”
b. Dha’if dari sudut matannya
Yang termasuk hadits Dha’if dari sudut matannya adalah
hadits syadz ( hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah
atau terpercaya akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan (kandungan
hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat kestiqahannya.
c. Dha’if dari salah satu sudutnya, baik sanad atau matan
secara bergantian
Artinya kedha’ifannya kadang-kadang pada sanad dan
kadang-kadang pada matan. Yang termasuk dalam kategori ini ada tiga, yaitu:
1. Hadits Maqlub, yaitu mendahulukan (mentaqdimkan)
kata, kalimat atau nama yang seharusnya ditulis di belakang dan mengakhirkan
(menta’khirkan) kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
2. Hadits mudraj, yaitu hadits yang di dalamnya
terdapat sisipan atau tambahan.
3. Hadits mushahhaf, yaitu hadits yang terdapat
perbedaan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqah, kerena di dalamnya
terdapat beberapa huruf yang diubah.
d. Dha’if dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama
Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori ini di
antaranya:
1. Hadits maudhu, yaitu hadits yang dibuat-buat atau
diciptakan yang didustakan atas nama Rasulullah SAW.
2. Hadits munkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang dha’if yang matannya bertentangan dengan periwayatan perawi yang
tsiqah.
e. Dha’if dari sudut persambungan sanadnya
Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori ini di
antaranya:
1. Hadits mursal, yaitu hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in.
2. Hadits munqathi, yaitu hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi
atau pada sanad tersebut disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya.
3. Hadits Mu’dhal, yaitu hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih
secara berturut-turut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pembagian
hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi
3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad
dibagi
tiga yaitu hadits Masyhur, hadits Aziz,
dan Hadits Garib.
Sedangkan
hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam
yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits
mardud adalah hadits yang dahif.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Thahhah , Mahmud. Tafsiru Musthalah hadits. Daru Fikr. Bairut.
2.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Gaya Media Pratama. Jakarta. 1998.
3.
Suparta, Munzier dan Ranuwijaya, Utang . Ilmu Hadis. RajaGrafindo Persada.
1993.
4.
Saleh,Subhi. Ulum al-hadits wa musthalahuh. Dar ilmi.
pembahasan makalah yang lebih panjangnya ada gak???
BalasHapus