Jumat, 25 Januari 2013

Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Sanad Dan Matan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam  ilmu hadits. Banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits, maka pada bahasan ini hanya akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.
B.     Rumusan Makalah
1.      Bagaimana Pembagian Hadits dari segi kuantitas?
2.      Bagaimana Pembagian Hadits dari segi kualitas?
C.    Tujuan Makalah
Agar kita mengetahui pembagian Hadits ditinjua dari segi kuantitas dan kualitas.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadits Ditinjau Dari Segi kuantitas
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits Mutawatir, Masyhur, dan Ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits Mutawatir dan hadits Ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dianut oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jassas (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama Ushul dan ulama Kalam. Menurut mereka, hadits Masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits Ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits Mutawatir dan Ahad.[1] Berdasarkan pembagian ini, maka hadits Masyhur, hadits Aziz, dan Hadits Garib merupakan bagian dari Hadits Ahad.[2]
1.      Hadits Mutawatir
a.      Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berturut-turut, dengan tidak ada jaraknya.[3] Sedangkan pengertian mutawatir secara terminiologis, terdapat beberapa definisi :
ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
“hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta"[4]
ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
“Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dan diterima dari banyak orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta”
الذي رواه جمع كثير لايمكن تواطؤهم علي الكذب عن مثلهم الي انتهاء السند و كان مستندهم الحسّ
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad. Hadits yang diriwayatkan itu didasarkan pada pengamatan panca indra”[5]
Dari definisi-definisi di atas, hadits mutawatir harus mempunyai empat kategori, yaitu[6]:
1.      Hadits harus diriwayatkan oleh banyak orang
2.      Hadits itu harus diterima dari banyak orang pula
3.      Ukuran banyak di sini jumlahnya relatif (dengan ukuran berdasarkan sudut pandang kebiasaan masyarakat, bahwa mereka tidak mungkin sebelumnya melakukan kesepakatan untuk berdusta)
4.      Hadits itu diperoleh melalui pengamatan panca indra, bukan atas dasar penafsiran mereka
b.      Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Mengenai syarat-syarat Mutawatir hanya dibicarakan oleh para ulama mutaakhirin. Syarat-syarat itu pun bukan berkaitan dengan kualitas sanad-sanadnya, melainkan hanya pada jumlah kuantitasnya. Sedangkan para ulama mutaqaddimin tidak membicarakan hal itu sama sekali.
Syarat-syarat hadits mutawatir menurut  ulama mutaakhirin, yaitu:[7]


1.      Diriwayatkan oleh banyak perawi
Dalam hal ini, ada para ulama yang menentukan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkan jumlah tertentu. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut kebiasaan dapat memberi keyakinan terhadap kebenaran apa yang diberitakan dan mustahil mereka berdusta. Sedangkan para ulama yang menentukan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu. Ada yang menyebutkan harus lebih dari 4, sedangkan Al-Qadi Baqillani menetapkan 5 orang kerena beliau mengqiyaskan kepada jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi. Astikhary menetapkan paling baik minimal 10 orang kerena jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Ulama lain menentukan 12 orang kerena berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 12 (“...dan telah kami angkat di antara mereka 12 pemimpin...”).  sebagian ulama lainya menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan surah al-Anfal ayat 65 (“...jika ada 20 orang yang bersabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh...”). ada juga yang mengatakan minimal 40 orang kerena berdasarkan firman Allah surah al-Anfal ayat 64. Dan ada juga yang menentukan 70 orang kerena berdasarkan firman Allah surah Al-A’raf ayat 155, yang menyebutkan bahwa Nabi Musa as memilih 70 orang dari kaumnya untuk ikut memohonkan ampun kepada tuhan-Nya.
2.      Adanya keyakinan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta
Dengan syarat ini memberi kejelasan, bahwa penentuan jumlah-jumlah tertentu, bukan ukuran pokok untuk menetapkan suatu hadits mutawatir. Yang menjadi ukurannya ialah apakah dengan jumlah orang-orang yang membawa berita itu sudah mencapai ilmu dharuri atau belum, artinya sudah memberikan kepastian akan kebenaran berita yang dibawanya atau belum, apakah diantara mereka mungkin melakukan kesepakatan dusta atau tidak.
3.      Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap-tiap thabaqahnya
Jumlah sanad hadits Mutawatir antara satu thabaqah (tingkatan) dengan thabaqah lainnya harus seimbang. Misalnya, jika sanad pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada thabaqah berikutnya juga masing-masing harus 10 atau 9 atau 11 orang.
4.      Berdasarkan tanggapan panca indera
Berita yang disampaikan oleh perawi sebagai pembawa berita harus berdasarkan hasil pengamatan panca indra. Artinya bahwa berita yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengarannya, penglihatannya, penciumannya, atau sentuhannya.
c.       Pembagian Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir terbagi kepada dua bagian, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada di antara para ulama yang membagi kepada tiga bagian, yaitu mutawatir lafzhi, ma’nawi dan amali.[8]
1.      Mutawatir lafzhi
ما توافر معناه و لفظه
“Hadits yang mutawatir lafazh dan maknanya[9]
Atau hadits yang diriwayatkan oleh banyak para perawi sejak awal sampai akhir sanadnya, dengan memakai lafazh yang sama.
Menurut para ulama, hadits mutawatir lafzhi jumlahnya sangat sedikit.[10] Contoh hadits mutawatir lafzhi :
من كذب عليّ متعمد فليتبوّأ مقعده من النار
Barang siapa yang dengan sengaja berbuat dusta atas namaku, niscaya ia menempati tempat duduknya dari api neraka
2.      Mutawatir Ma’nawi
ما توافر معناه دون لفظه
“Hadits yang maknanya mutawatir, tanpa dengan lafazhnya[11]
Atau hadits yang periwayatannya disepakati maknanya, akan tetapi lafazhnya tidak.
Contoh mutawatir ma’nawi sangat banyak di antaranya tentang ar-ruy’at, bilangan rakat dalam shalat dan lainnya.[12]
3.      Mutawatir amali
Mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam bahwa Nabi SAW mengerjakannya, menyuruhnya dan selain dari itu. Macam jumlah hadits mutawatir amali ini banyak jumlahnya, seperti shalat janazah, shalat ied, pelaksanaan haji, kadar zakat dan lain-lain.[13]
d.      Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkan isinya. Dikatakan ibn Taimiah, barang siapa menyakini kemutawatiran suatu hadits, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai dengan kandungan isinya. Sedangkan orang yang belum mengetahui kemutawatirannya, baginya hendaklah mengikuti dan menyerahkan kepada orang yang telah mensepakati kemutawatiran hadits tersebut.[14]
2.      Hadits Ahad
a.      Pengertian Hadits Ahad
Secara bahasa kata ahad atau wahid berarti satu. Maka khabar ahad atau khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[15]
Sedangkan hadits ahad menurut definisi singkat :
ما لم يجمع شروط المتواتر
“Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”
Ulama lain mendefinisikan dengan hadits yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (nabi SAW) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.
Dari dua definisi di atas ada dua hal yang harus digaris bawahi, yaitu:
1.      Dari sudut kuantitas perawinya, hadits ahad berada dibawah kuantitas hadits mutawatir.
2.      Dari sudut isinya, hadits ahad memberi faedah zhanni bukan qath’i
Menurut jumhur ulama baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, serta para ulama sesudahnya, baik dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih, maupun ahli ushul berpendapat bahwa hadits ahad yang shahih dapat dijadikan hujjah, yang wajib diamalkan. Kewajiban beramal dengannya didasarkan atas kewajiban syar’i bukan atas dasar aqli.
Sedangkan golongan Qadariyah, Rafidhah dan sebagian ahli Zhahir berpendapat bahwa beramal dengan dasar hadits ahad hukumnya tidak wajib. Diantara mereka ada yang berpendapat, bahwa kewajiban beramal dengan hadits macam ini adalah berdasarkan dalil aqli.[16]
b.      Pembagian Hadits Ahad
Dalam hadits ahad terbagi dalam  tiga kelompok, yaitu: hadits Masyhur, hadits Aziz dan hadits Gharib.
1.      Hadits Masyhur
Hadits masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu artinya sesuatu yang tersebar dan populer.[17] Sedangkan menurut istilah :
ما رواه ثلاثة فأكثر ما لم يبلغ حد التواتر
“Hadits yang diriwayatkan dua orang atau lebih tetapi tidak sampai batasan mutawatir”
Dari sudut kualitasnya, dapat dibagi menjadi :
a.       Hadits Masyhur Shahih, yaitu Hadits Masyhur yang memenuhi syarat-syarat keshahihannya. Maka Hadits Masyhur Shahih dapat dijadikan hujjah. Contohnya :
من أتي الجمعة فاليغتسل
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat, hendaklah ia mandi.”
b.      Hadits Masyhur Hasan, yaitu hadits masyhur yang kualitas perawinya di bawah hadits masyhur yang shahih. Contohnya:
طلب العلم فريضة علي كل مسلم
Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”
c.       Hadits Masyhur yang dhaif artinya Hadits Masyhur yang tidak memiliki syarat-syarat atau kurang salah satu syaratnya dari syarat hadits shahih. Dan tidak dapat dijadikan hujjah. Contohnya:
من عرف نفسه فقد عرف ربّه
Siapa yang mengetahui dirinya, niscaya ia mengetahui Tuhan-nya[18]
2.      Hadits Aziz
Aziz menurut bahasa berarti mulia, kuat, atau sedikit. Secara terminologis, aziz didefinisikan :
ما لا يرويه اقلّ من اثنين عن اثنين
Hadits yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang perawi diterima dari dua orang pula[19]
Sebagaimana hadits Masyhur, hadits aziz terbagi kepada shahih, hasan dan da’if. Pembagian ini tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang berkaitan dengan kualitas ketiga kategori tersebut. Contohnya :
لا يؤمن أحدكم حتّي أكون أحبّ إليه من نفسه و والده و ولده و الناس أجمعين
“Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya dan semua manusia” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)[20]
3.      Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-Munfarid artinya menyendiri atau al-Ba’id an Aqaribihi artinya jauh dari kerabatnya. Sedangkan Secara terminologis, gharib didefinisikan :
ما ينفرد بروايته راو واحد
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya”[21]
Ada dua macam pembagian Hadits Gharib, yaitu :
1.      Dilihat dari sudut bentuk penyendirian perawi
a.       Hadits Gharib Muthlaq artinya penyendirian itu terjadi berkaitan dengan keadaan jumlah personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan Hadits tersebut, kecuali dirinya sendiri.
b.      Hadits Gharib Nisbi artinya penyendirian itu bukan pada perawi atau sanadnya, melainkan mengenai sifat atau keadaan tertentu, yang berbeda dengan dengan perawi lainnya.
2.      Dilihat dari sudut kaitannya antara penyendirian pada sanad dan matan.
a.       Gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama, yaitu hadits Gharib yang hanya diriwayatkan oleh salah satu silsilah sanad, dengan satu matan haditsnya.
b.      Gharib pada sanad saja, yaitu hadits yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkan dari salah seorang sahabat lain yang lain yang tidak populer.[22]
Sebagaimana hadits masyhur dan Aziz, dari sudut kualitasnya, Hadits Gharib juga terbagi kepada shahih, hasan dan dha’if.[23]
B.     Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits  muatawatir memberikan pengertian kepada yaqin bi Qat’i, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Rasulullah SAW. Oleh kerena kebenaran sumber-sumbernya telah menyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan baik terhadap sanad maupun matan. . Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi dua bagian, yaitu hadits maqbul dan hadits mardud.[24]
a.      Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) dan musaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah :
ما توافرت فيه جميع شروط القبول
Hadits yang telah sempurna seluruh syarat penerimaannya
Dari definisi di atas, bahwa suatu  hadits dikatakan maqbul apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu  itu ada yang berkaitan dengan sanad dan ada juga yang berkaitan dengan matan. yang berkaitan dengan sanad, yaitu:
1.      Sanad-sanadnya harus bersambung
2.      Masing-masing sanad tersebut harus adil dan dhabit
3.      Tidak ada illat yang mencacatkannya
Sedangkan yang berkaitan dengan matan adalah tidak boleh ada kejanggalan (syudzudz) dalam matannya.
Dalam hal ini, tidak semua hadits maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga tetapi ada juga yang tidak boleh diamalkan. Dengan  kata lain hadits ada yang ma’mulun bih dan ada juga ghair Ma’mulun bih. Yang termasuk hadits ma’mulun bih :
1.      Yang Muhkam, yaitu hadits yang telah memberikan pengertian jelas.
2.      Yang  Mukhtalif, yaitu hadits  yang dapat dikompromikan dari dua buah hadits shahih atau lebih yang dari sudut zhahirnya mengandung pengertian yang bertentangan.
3.      Yang rajih, yaitu hadits yang lebih kuat dari dua buah hadits shahih yang nampak bertentangan.
4.      Yang Nasikh, yaitu hadits yang me-nasakh (menghapus) ketentuan hadits yang datang terdahulu.
Sedangkan yang termasuk ghair Ma’mulun :
1.      Yang marjuh,yaitu hadits yang kuhujjahannya dikalahkan oleh hadits yang lebih kuat.
2.      Yang mansukh, yaitu hadits yang datang terdahulu, yang ketentuan hukumnya telah dinasakh atau dihapus oleh hadits yang datang kemudian.
3.      Yang mutawaquf fih, yaitu hadits yang kehujjahannya ditangguhkan, kerena terjadinya pertentangan antara satu hadits dengan hadits lainnya yang belum dapat diselesaikan[25].
Secara umum, ketentuan hadits maqbul dapat digolongkan menjadi shahih dan hasan.
1.      Hadits Shahih
Shahih menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang sempurna. Sedangkan menurut terminologis :
الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط حتي ينتهي إلي رسول الله صلي الله عليه و سلم أو إلي منتهاه من صحابي أو من دونه ولا يكون شاذا ولا معللا
Hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith, diterima dari perawi yang adil dan dhabith hingga sampai kepada pada akhir sanad yaitu Nabi SAW atau orang setelahnya baik dari sahabat atau tabi’in dan tidak ada kejanggalan dan tidak berillat.[26]
Berdasarkan definisi di atas, hadits shahih harus memenuhi lima syarat, yaitu:
1.      Diriwayatkan oleh para perawi yang adil.
Seseorang dikatakan adil apabila memiliki sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya, baik akidahnya, terpelihara dirinya dari dosa besar dan terpelihara akhlaknya termasuk dari hal-hal yang menodai muru’ah, disamping itu ia harus muslim, baligh, berakal sehat dan tidak fasik.
Keadilan para perawi di atas, menurut ulama dapat diketahui melalui :
a.       Keutamaan kepribadian nama perawi itu sendiri yang terkenal dikalangan ulama hadits, sehingga keadilannya tidak diragukan lagi.
b.      Penilaian dari para ulama lainnya yang melakukan penelitian terhadap para perawi tentang keadilan perawi-perawi hadits.
c.       Penerapan kaidah al-jarh wa at-ta’dil apabila terjadi perbedaan pendapat di antara para uluma penelitian terhadap perawi-perawi tertentu.
Sedangkan keadilan para sahabat tidak diragukan lagi, sehingga terhadap mereka tidak perlu dilakukan penelitian lagi.
2.      Kedhabithan para perawinya harus sempurna.
Perawi harus baik hapalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu-ragu, dan tidak banyak tersalah sehingga ia dapat mengingat dengan sempurna hadits-hadits yang diterima dan diriwayatkannya.
3.      Antara satu sanad dengan sanad lainnya bersambung (muttashil).
Yang dimaksud muttashil ialah si pembawa hadits dan penerimanya terjadi pertemuan langsung. Sehingga menjadi suatu silsilah yan sambung menyambung, sejak awal sanad kepada sumber hadits itu sendiri. Untuk membuktikan apakah sanad-sanad tersebut bersambung atau tidak, di antaranya dilihat bagaimana keadaan usia masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan bertemu atau tidak, selain itu, bagaimana pula cara menerima atau menyampaikan.
4.      Tidak mengandung cacat atau illat.
Illat adalah suatu sebab yang tiadak tamapk atau samar-samar yang dapat mencacatkan keshahihan suatu hadits.
5.      Tidak janggal atau syadz.
Syadz ialah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain yang sudah diketahui tinggi kualitas keshahihannya.
Hadits shahih terbagi dua :
a.       Hadits shahih li-Dzatih, yaitu hadits yang memiliki lima syarat atau kriteria di atas.
b.      Hadits shahih li-ghairih, yaitu hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain.
Para ulama berpendapat bahwa hadits yang shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat Islam.

2.      Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan dicondrongi oleh nafsu. Sedangkan dalam hadits berarti hadist yang baik. Secara terminologis :
ما اتصل سنده بنقل عدل خفيف الضبط و سلم من الشذوذ و العلة
Hadits yang bersambung sanadnya dengan diterima perawi yang kurang dhabi’th tetapi selamat dari illat dan syadz
Syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih kecuali pada syarat dhabith, pada pada hadits hasan, perawinya dhabithnya (hafalannya) tidak sebaik atau dibawah hadits shahih.
Seperti hadits shahih, hadits hasan juga terbagi kepada dua bagian :
a.       Hasan li-Dzatih, yaitu hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan yang lima, akan tetapi daya ingatan atau kekuatan hafalan mereka belum sampai kepada derajat hafalan perawi yang shahih.
Hasan li-Dzatih bisa naik kualitasnya menjadi shahih li-ghairih apabila ditemukan hadits lain yang menguatkan kandungan matannya atau adanya sanad lain yang juga meriwayatkan hadits yang sama (syahid atau mutabi).
b.      Hasan li-ghairih, yaitu hadits yang menduduki kualitas hasan kerena dibantu oleh keterangan lain, baik kerena adanya syahid atau mutabi.
             Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan juga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pendapat dalam soal penetapan rutbah (urutan), yang disebabkan kualitasnya masing-masing.
3.      Hadits Mardud
      Mardud menurut bahasa berarti ditolak atau tidak diterima. Sedangkan mardud menurut istilah :
                                            فقد تلك الشروط او بعضها         
Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagian syarat hadits maqbul
      Tidak terpenuhinya persyaratannya bisa terjadi pada sanad dan matan. Yang termasuk hadits mardud diantaranya hadits dha’if.
1.    Hadits Dha’if
Dhaif menurut bahasa berarti lemah. Sedangkan menurut istilah :
ما لم يوجد فيه شروط الصحة و لا شروط الحسن
Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat Shahih dan syarat-syarat hasan
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1)      Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2)      Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3)      Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
·         Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
·         Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
·         Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
            Para ulama menemukan keda’ifan hadits itu pada tiga bagian, yaitu pada sanad, pada matan dan pada perawinya. Mereka membagi dan menguraikannya ke dalam beberapa hadits dha’if.
a.       Dha’if dari sudut sandaran matannya
Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits Dha’if dari sudut persandarannya, segala hadits yang mauquf dan yang Maqtu.
1.      Hadits mauquf
ما روي عن الصحابي من قول او فعل او تقرير
Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir (penetapan)
2.      Hadits Maqtu
ما روي عن التابعين من قول او فعل او تقرير
Hadits yang diriwayatkan dari para tabi’in berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir (penetapan)
b.      Dha’if dari sudut matannya
Yang termasuk hadits Dha’if dari sudut matannya adalah hadits syadz ( hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau terpercaya akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan (kandungan hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat kestiqahannya.
c.       Dha’if dari salah satu sudutnya, baik sanad atau matan secara bergantian
Artinya kedha’ifannya kadang-kadang pada sanad dan kadang-kadang pada matan. Yang termasuk dalam kategori ini ada tiga, yaitu:
1.      Hadits Maqlub, yaitu mendahulukan (mentaqdimkan) kata, kalimat atau nama yang seharusnya ditulis di belakang dan mengakhirkan (menta’khirkan) kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
2.      Hadits mudraj, yaitu hadits yang di dalamnya terdapat sisipan atau tambahan.
3.      Hadits mushahhaf, yaitu hadits yang terdapat perbedaan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqah, kerena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang diubah.
d.      Dha’if dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama
Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori ini di antaranya:
1.      Hadits maudhu, yaitu hadits yang dibuat-buat atau diciptakan yang didustakan atas nama Rasulullah SAW.
2.      Hadits munkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang matannya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah.
e.       Dha’if dari sudut persambungan sanadnya
Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori ini di antaranya:
1.      Hadits mursal, yaitu hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in.
2.      Hadits munqathi, yaitu hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi atau pada sanad tersebut disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya.
3.      Hadits Mu’dhal, yaitu hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
             Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi tiga yaitu hadits Masyhur, hadits Aziz, dan Hadits Garib.
             Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Thahhah , Mahmud. Tafsiru Musthalah hadits. Daru Fikr. Bairut.
2.      Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Gaya Media Pratama. Jakarta. 1998.
3.      Suparta, Munzier dan Ranuwijaya, Utang . Ilmu Hadis. RajaGrafindo Persada. 1993.
4.      Saleh,Subhi. Ulum al-hadits wa musthalahuh. Dar ilmi.


[1] Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), h. 81.
[2] Untung Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 123.
[3] Ibid., h. 123.
[4] Mahmud Thahhah, Tafsir Musthalah Hadits, (Bairut: Daru Fikr, ), h. 19.
[5] Untung Ranuwijaya, op. cit., h. 124.
[6] Ibid., h. 125.
[7] Ibid., h. 125.
[8] Ibid., 129.
[9] Mahmud Thahhah, op. cit., h. 20.
[10] Untung Ranuwijaya, op. cit., h. 130.
[11] Mahmud Thahhah, op. cit., h. 20.
[12] Untung Ranuwijaya, op. cit., h. 131.
[13] Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, op. cit., h. 91.
[14] Untung Ranuwijaya, op. cit., h. 132.
[15] Ibid., h. 133.                                 
[16] Ibid., 135.
[17] Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, op. cit., h. 91
[18] Untung Ranuwijaya, op. cit., h. 137.
[19] Mahmud Thahhah, op. cit., h. 24.
[20] Untung Ranuwijaya, op. cit., h. 143.
[21] Mahmud Thahhah, op. cit., h. 25.
[22] Untung Ranuwijaya, op. cit., h. 146.
[23] Ibid., h. 150
[24] Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, op. cit., h. 107.
[25] Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, op. cit., h. 107.
[26] Subhi Shaleh, ulumul hadts wa musthalahuh, (daru ilmi), h. 145.

1 komentar: