Senin, 28 Januari 2013

Asuransi Syariah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang
Kita sebagai manusia tak seorang pun mengetahui tentang apa yang akan terjadi di masa datang secara sempurna walaupun menggunakan berbagai alat analisis. Hal ini disebabkan karena di masa datang penuh dengan ketidakpastian. Jadi wajar jika terjadinya sesuatu di masa datang hanya dapat direkayasa semata.
Resiko di masa datang dapat terjadi terhadap kehidupan seseorang misalnya kematian, sakit atau dipecat dari pekerjaan. Dalam bisnis yang dihadapi dapat berupa resiko kebakaran, kerusakan atau kehilangan. Setiap resiko yang akan dihadapi harus ditanggulangi, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Maka diperlukan perusahaan yang mau menanggung resiko tersebut yaitu perusahaan asuransi. Di bidang bisnis inilah asuransi semakin berkembang, terutama dalam hal perlindungan terhadap barang-barang perdagangannya. Namun, perkembangan ini tidak sejalan dengan kesesuaian praktik asuransi terhadap syariah. Meskipun demikian, dengan banyaknya kajian terhadap praktik perekonomian dalam perspektif hukum Islam, asuransi mulai diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan syariah. Oleh karena itu muncullah Asuransi Syariah.
Asuransi syariah merupakan usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian asuransi syariah?
2.      Apa yang menjadi landasan asuransi syariah?
3.      Apa macam-macam jenis asuransi?
4.      Apa saja produk asuransi syariah?
5.      Apa prinsip-prinsip dasar asuransi syariah?
6.      Bagaimana sistem pengelolaan dana asuransi syariah?
7.      Apa perbedaan asuransi syariah dan asuransi konvensional?
8.      Bagaimana perkembangan asuransi di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Asuransi Syariah
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance yang menurut Echols dan Shadilly memaknai dengan (a) asuransi dan (b) jaminan[1]. Menurut Muhammad Muslehuddin asuransi adalah persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan tersebut, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama[2].
Istilah asuransi, menurut pengertian ekonomi menunjukkan suatu aransemen ekonomi yang menghilangkan atau mengurangi akibat-akibat yang merugikan di masa akan datang kerena berbagai kemungkinan sejauh menyangkut kekayaan (vermoegen) seorang individu. Kemungkinan-kemungkinan tersebut harus bersifat tidak tetap (casual) bagi individu yang dipengaruhinya, sehingga setiap kejadian merupakan peristiwa yang tak terduga. Asuransi membagi rata segala akibat yang merugikan atas serangkaian (reihe) kasus yang terancam oleh bahaya yang sama namun belum benar-benar terjadi[3].
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (at-ta’min) adalah “transaksi perjanjian antara dua belah pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”.

Dalam Kitab Undang-Undang Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “(timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikat diri kepada seorang penanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, kerena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya, kerena suatu peristiwa tak tertentu[4].
Tujuan Asuransi adalah untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan[5].
Asuransi dalam bahasa Arab disebut At-ta’min yang berasal dari kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa sakit. Istilah menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang.
Kemudian asuransi syariah didefinisikan sebagai usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah (ta’min, takaful, atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah[6].
Dalam pengelolaan dan penanggungan risiko, asuransi syariah tidak memperbolehkan adanya gharar (ketidakpastian atau spekulasi) dan maisir (perjudian). Dalam investasi atau manajemen dana tidak diperkenankan adanya riba (bunga). Ketiga larangan ini, gharar, maisir, dan riba adalah area yang harus dihindari dalam praktek asuransi syariah, dan menjadi pembeda utama dengan asuransi konvensional[7].
B.     Landasan Asuransi Syariah
Landasan dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah. Kerena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Maka landasan yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam.
Al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktek asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau al-ta’min secara nyata dalam Al-Qur’an. Walaupun begitu Al-Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi, seperrti nilai dasar tolong menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian (perih) dimasa yang akan datang.
“….Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong  menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangatberat siksa-Nya”.(QS. Al-Maidah: 2)
Ayat ini memuat perintah (amr) tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya digunakan sebagai dana sosial (tabarru). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru pada perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril)[8].[9]
                        Selain Al-Qur’an, banyak hadits Nabi SWA yang mengandung tentang praktek asuransi, di antaranya hadits Nabi yang berkenaan tentang Aqilah:
“Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata: berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW., maka Rasulullah SAW. memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki)”.(HR. Bukhari)

Hadits di atas menjelaskan tentang praktik aqilah yang telah menjadi tradisi di masyarakat Arab. Aqilah dalam hadits di atas dimaknai dengan ashabah (kerabat dari orang tua laki-laki) yang mempunyai kewajiban menanggung denda (diyat) jika ada salah satu anggota sukunya melakukan pembunuhan terhadap anggota suku lain. Penanggungan bersama oleh aqilah-nya merupakan suatu kegiatan yang mempunyai unsur seperti yang berlaku pada bisnis asuransi. Kemiripan ini didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (takaful) antara anggota suku.[10]
                        Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal ini (aqilah). Ini terbukti dengan tidak adanya penentangan oleh sahabat lain terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka besepakat mengenai persoalan ini. Rahasia praktik aqilah adalah mengangkat perselisihan dan percecokan antarsuku Arab. Dengan adanya aqilah berarti telah membangun suatu nilai kehidupan yang positif (al-hasan) di antara para suku Arab. Adanya aspek kebaikan dan nilai positif dalam praktik aqilah mendorong para ulama untuk bermufakat (ijma) bahwa perbuatan semacam aqilah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam syariah Islam[11].
Selain itu, beberapa ulama mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkenaan dengan asuransi ini di antaranya:
a.       Edaran komite tetap untuk riset Ilmiyyah dan fatwa kerajaan syariah Saudi Arabia
b.      Keputusan Hai’ah kibarul Ulama kerajaan Saudi Arabia tentang asuransi[12]

C.    Macam-macam Asuransi
Berdasarkan fungsinya, asuransi dibagi dalam dua bagian besar, yaitu asuransi kecelakaan dan asuransi jiwa[13].
1.      Asuransi kecelakaan atau asuransi kerugian, yaitu asuransi yang meng-cover kecelakaan yang menimpa harta benda milik tertanggung. Tujuannya adalah untuk mengganti kerugian yang dialami tertanggung kerena kecelakaan yang menimpanya. Asuransi ini terbagi dua jenis
a.       Asuransi barang, yaitu penjaminan ganti rugi atas barang-barang milik tertanggung. Bentuk asuransinya beragam, seperti asuransi kebakaran, asuransi pencurian, atau asuransi kematian hewan peliharaan.
b.      Asuransi tanggung jawab, yaitu jaminan untuk tertanggung bila ada klaim kerugian dari pihak lain kerena suatu kecelakaan yang harus ia pertanggungjawabkan. Bentuk asuransi yang paling umum dari jenis ini antara lain asuransi kecelakaan lalu lintas atau asuransi kecelakaan kerja.
2.      Asuransi jiwa, yaitu asuransi yang meng-cover segala jenis penjaminan yang berkaitan dengan diri tertanggung. Maksudnya, tertanggung akan diberikan sejumlah uang kalau terjadi kecelakaan tertentu yang menimpa badannya atau mengancam keselamatannya. Jumlah uang yang diserahkan sudah disepakati sebelumnya antara tertanggung dengan penanggung.
Dalam asuransi ini tidak diperhitungkan bila terjadi kecelakaan umum yang menimpa tertanggung. Penggantian kerugian dalam kasus itu dilakukan oleh orang yang menyebabkannya celaka. Di sini, posisi penanggung dalam asuransi kecelakaan (kerugian). Asuransi ini terbagi menjadi dua jenis pokok, yaitu sebagai berikut:
a.       Asuransi jaminan kehidupan. Bentuk-bentuknya antara lain sebagai berikut:
1)      Asuransi kematian, yaitu akad yang memperjanjikan bahwa penanggung akan menyerahkan sejumlah uang tertentu ketika tertanggung wafat sebagai pengganti atas premi yang dibayarkan secara berkala atau hanya sekali pembayaran premi (yang diberikan oleh tertanggung).
Dalam hal ini, penanggung harus membayar klaim kapan saja tertanggung meninggal. Asuransi jenis ini disebut juga asuransi umur. Selanjutnya, penanggung akan menyerahkan klaim kepada orang yang sudah ditentukan sebelumnya atau kepada ahli warisnya.
Terkadang, penanggung hanya harus membayarkan klaim jika tertanggung meninggal dalam jangka waktu tertentu. Jenis asuransi ini disebut asuransi mu’aqqat (ditentukan waktunya).
Selain itu, kadang-kdang klaim harus diserahkan kepada orang tertentu dengan syarat, ia masih hidup saat tertanggung sudah meninggal asuransi ini disebut asuransi buqya.
2)      Asuransi jaminan hidup, yaitu asuransi yang mengharuskan penanggung membayar klaim kepada tertanggung apabila dalam jangka waktu tertentu tertanggung masih hidup. Jika ia meninggal sebelum jangka waktu yang ditentukan, penanggung tidak harus menyerahkan klaim sekalipun ia disiplin membayar premi.
3)      Asuransi jiwa biasa. Asuransi jenis ini adalah asuransi atas kehidupan yang paling banyak tersebar. Dalam asuransi ini, penanggung harus membayar klaim, baik jika dalam jangka waktu tertentu tertanggung masih hidup maupun sudah meninggal sebelum waktu yang ditentukan. Klaim kemudian diserahkan kepada orang yang ditunjuk atau kepada ahli waris. Asuransi jenis ini adalah asuransi yang paling adil dibandingkan dua jenis sebelumnya.
b.      Asuransi kecelakaan. Asuransi ini termasuk asuransi jiwa. Penanggung harus menyerahkan sejumlah uang yang sudah ditentukan kepada tertanggung apabila di tengah-tengah masa asuransi terjadi musibah yang menimpa jasmani tertanggung. Bila tertanggung meninggal, uang itu diserahkan kepada pihak yang sudah ditentukan
Dilihat dari segi kepemilikannya[14]
a.       Asuransi milik pemerintah, yaitu asuransi yang sahamnya dimiliki sebagian besar atau bahkan 100 persen dari pemerintah.
b.      Asuransi milik swasta nasional, yaitu asuransi yang kepemilikan sahamnya sepenuhnya diliki oleh swasta nasional sehingga siapa yang paling banyak memiliki saham, maka memiliki suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemengang Saham (RUPS).
c.       Asuransi milik perusahaan asing yaitu perusahaan asuransi yang biasanya beroperasi di Indonesia hanya merupakan cabang dari Negara lain dan jelas kepemilikannya pun dimiliki oleh 100 persen oleh pihak asing.
d.      Asuransi milik campuran, yaitu merupakan jenis asuransi yang sahamnya dimiliki campuran antara swasta nasional dengan pihak asing.
D.    Produk-produk Asuransi Syariah
Asuransi Jiwa mempunyai produk antara lain[15]:
a.       Asuransi berjangka
b.      Asuransi kecelakaan diri
c.       Asuransi kesehatan
d.      Unit link
Asuransi Takaful Umum menawarkan produk-produk antara lain:
a.       Takaful (asuransi) kendaraan bermotor
b.      Takaful (asuransi) kebakaran
c.       Takaful risiko pembangunan
d.      Takaful mesin
e.       Takaful peralatan elektronik
f.       Takaful pengangkutan barang
g.      Takaful rangka kapal
h.      Takaful pengangkutan Uang
i.        Takaful risiko gabungan
j.        Takaful kecelakaan diri
k.      Takaful penyimpanan uang
l.        Takaful tanggung gugat
m.    Asuransi tanggung jawab kepada pihak ketiga
n.      Asuransi rekayasa (engineering all risks)
E.     Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi Syariah
Konsep asuransi Islam berasaskan konsep takaful yang merupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta. Kata takaful berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata kafala-yakfulu. Ilmu tashrif atau sharaf memasukkan kata takaful ke dalam kelompok bina muta’adi yaitu takaa’aala yang artinya saling menanggung atau saling menjamin. Untuk itu harus ada suatu persetujuan dari para peserta takaful untuk memberikan sumbangan keuangan sebagai derma (tabarru) kerena Allah semata dengan niat membantu sesame peserta yang tertimpa musibah seperti: kematian, bencana, dan sebagainya[16].
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak ada menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan syariat Islam. Untuk itu, muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut[17] :
a.       Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun ( kerja sama), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah swt berfrman,”dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”.
b.      Asuransi syariah tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru atau dalam transaksi yang bersifat investasi dengan prinsip mudharabah musytarakah atau wadiah.
c.       Sumbangan (tabarru) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariah.
d.      Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambillah sejumlah uang guna membantu orang yang ditimpa musibah.
e.       Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
f.       Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
Asuransi syariah  memiliki ciri-ciri sebagai berikut[18]:
a.       Akad asuransi syari’ah adalah bersifat sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika maka kelebihan itu adalah keuntungan hasil mudharabah bukan riba.
b.      Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Kerena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapatkan imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jamaah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
c.       Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat kerena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jamaah seperti dalam asuransi takaful.
d.      Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
e.       Asuransi syari’ah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Berikut ini beberapa manfaat yang dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu[19]:
a.       Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
b.      Implementasi dari anjuran Rasulullah saw agar umat Islam saling tolong menolong.
c.       Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
d.      Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari risiko kerugian yang diderita satu pihak.
e.       Juga meningkatkan efisiensi, kerena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
f.       Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlah jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
g.      Sebagai tabungan, kerena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
h.      Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi (bekerja).
F.     Sistem Pengelolaan Dana Asuransi Syariah
Di dalam sistem operasional asuransi syariah, yang sebenarnya terjadi adalah saling bertanggung jawab, bantu membantu dan melindungi di antara para peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi, mengembangkan dengan jalan yang halal, member santunan kepada yang mengalami musibah sesuai isi akta perjanjian tersebut.
Keuntungan perusahaan asuransi syariah diperoleh dari bagian keuntungan dana dari para peserta, yang dikembangkan dengan prinsip mudharabah musytarakah dan wakalah bil ujrah dalam akad mudharabah, para peserta asuransi syariah berkedudukan sebagai pemilik modal dan perusahaan asuransi syariah berfungsi sebagai yang menjalankan modal (mudharib). Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan dana itu dibagi antara para peserta dan perusahaan sesuai ketentuan yang telah disepakati.
Mekanisme pengelolaan dana peserta (premi) terbagi menjadi dua sistem yaitu[20]:
a.      Sistem yang mengandung unsur tabungan
Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan tergantung kepada kemampuan peserta. Akan tetapi perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang dapat dibayarkan. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut, melalui rekening Koran, giro atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara pembayaran, baik tiap bulan, kuartal, semester atau tahunan.
Setiap premi yang dibayarkan oleh peserta akan dipisah oleh perusahaan asuransi dalam dua rekening yang berbeda, yaitu :
1)      Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik peserta, yang dibayarkan bila:
·         Perjanjian berakhir
·         Peserta mengundurkan diri
·         Peserta meninggal dunia
2)      Rekening tabarru, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan salaing tolong menolong dan dan saling membantu, yang dibayarkan bila:
·         Peserta meninggal dunia
·         Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi reasuransi), akan dibagi menurut prinsip mudharabah. Persentase pembagian mudharabah (bagi hasil) dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerja sama antara perusahaan dengan peserta.
b.      Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
Sistem premi yang dibayar oleh peserta, akan dimasukkan dalam Rekening Tabarru, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan salaing tolong menolong dan saling membantu, dan dibayarkan bila:
·         Peserta meninggal dunia
·         Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi reasuransi) akan dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip al-mudharabah dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerja sama antara perusahaan dengan peserta.
G.    Perbedaan Asuransi Syariah dan konvensional
a.      Asuransi Konvensional
Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, di antaranya adalah:
a.       Akad asuransi konvensional adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Keduanya kewajiban ini adalah kewajiban tertanggung membayar premi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.
b.      Akad asuransi adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang di dalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya dengan kata lain akad tukar menukar.
c.       Akad ini adalah akad gharar kerena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melaksanakan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah ia ambil.
d.      Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahaan asuransi kerena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung.
b.      Asuransi Syariah
      Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-galanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah swt, yang artinya:
a.       Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong), di mana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual beli antara nasabah dengan perusahaan).
b.      Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional investasi dana dilakukan pada sembarang sector dengan sistem bunga.
c.       Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapakan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
d.      Bila ada peserta yang terkena musibah untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional dan pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
e.       Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional kkeuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tidak ada klaim nasabah memperoleh apa-apa.
f.       Adanya dewan pengawas syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional maka hal itu tidak mendapat perhatian.
                                    Perusahaan asuransi sebagai lembaga keuangan tentu saja mengharapkan keuntungan atas usaha yang dijalankannya. Keuntungan ini digunakan untuk membiayai seluruh aktivitasnya. Demikian juga pula dengan nasabah yang mengharapkan polis asuransi akan menerima manfaat dengan jasa asuransi yang digunakannya[21].
1.      Bagi Perusahaan Asuransi
a.       Keuntungan dari premi yang diberikan ke nasabah.
b.      Keuntungan dari hasil penyertaan modal di perusahaan lain.
c.       Keuntungan dari hasil bunga dari investasi di surat-surat berharga.
2.      Bagi nasabah
a.       Memberikan rasa aman.
b.      Merupakan simpanan yang pada jatuh tempo dapat ditarik kembali.
c.       Terhindar dari risiko kerugian atau kehilangan.
d.      Memperoleh penghasilan di masa yang akan datang.
e.       Memperoleh penggantian akibat kerusakan atau kehilangan.
                                    Menurut Jafril Khalid, dalam perkembangannya, asuransi masih memiliki kendala atau tantangan, yaitu:[22]
1.      Tantangan utamanya adalah dalam diri umat Islam sendiri. Apakah mereka berani untuk melaksanakan suatu perniagaan yang didasarkan kepada iman dan takwa dengan aturan syariahnya yang jelas, tetapi belum mempunyai regulasi tersendiri dari pemerintah.
2.      Belum adanya peraturan dari pemerintah secara komprehensif yang memberikan landasan hukum terhadap bisnis asuransi syariah.
3.      Kesiapan umat Islam untuk mendukung bisnis asuransi syariah. Jika tidak ada kesiapan umat Islam untuk mendukung, tentu bisnis ini tidak akan mampu bergerak, kerena keunggulannya terletak pada sektor penempatan dana atau investasi syariahnya.
H.    PERKEMBANGAN ASURANSI DI INDONESIA
Asal mula kegiatan yang dijalankan di Indonesia merupakan kelanjutan asuransi yang ditinggalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan Peraturan Pemerintah Indonesia yang mengatur tentang asuransi baru dikeluarkan pada tahun 1976 dengan keluarnya Surat keputusan Menteri Keuangan pada waktu itu.
Kemudian Surat keputusan Menteri Keuangan Nomor 1136/KMK/IV/1976 tentang penetapan Besarnya Cadangan Premi dan Biaya oleh Perusahaan Asuransi di Indonesia. Selanjutnya keluar  keputusan Menteri Keuangan Nomor 1249/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan di bidang Asuransi Kerugian  dan Nomor 1250/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 tentang Asuransi Jiwa.
Peraturan menteri keuangan ini kemudian tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha perasuransian di Indonesia dan peraturan pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Di samping kedua perundang-undangan dan peraturan tersebut dasar acuan pembinaan dan pengawasan usaha asuransi di Indonesia juga di dasarkan kepada keputusan Menteri Keuangan Nomor:
·         223/KMK.017/1993 Tanggal 26 Februari 1993 tentang Izin Perusahan asuransi dan Reasuransi.
·         223/KMK.017/1993 Tanggal 26 Februari 1993 tentang Kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi.
·         223/KMK.017/1993 Tanggal 26 Februari 1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan perusahaan Reasuransi.
·         223/KMK.017/1993 Tanggal 26 Februari 1993 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Penunjang Usaha Asuransi.[23]
BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan
Asuransi syariah merupakan usaha syariah yang memiliki prinsip saling tolong menolong antara pihak yang berkerjasama. Asuransi syariah tersebut banyak memiliki manfaat, yaitu memberikan rasa aman, lebih adil, dapat dijadikan sebagai tabungan dan memiliki banyak fungsi.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Ali, AM. Hasan. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Kencana. Jakarta. 2004.
2.      Muslehiddin, Mohammad. Asuransi Dalam Islam. Budi Aksara. Jakarta. 1997.
3.      Iqbal, Muhaimin. Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik. Gema Insani. 2005.
4.      Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Peransuransian (Asuransi Syariah) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Badan Pembinaan Hukum Nasional kementerian dan Hak Asasi Manusia. Jakarta. 2010.
5.      Kasmir. Bank Dan Lembaga keuangan Lainnya. Rajawali Pers. 2011.
6.      Muslehiddin, Muhammad. Menggugat Asuransi Modern. Lentera. Jakarta. 1999.
7.      Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah Di Indonesia. Kencana. Jakarta. 2004.
8.      Dib Al-Bugha, Musthafa. Buku Pintar Transaksi Syariah. Hikmah.  Jakarta. 2010.
9.      Arifin Bin Badri, Muhammad. Riba Dan Tinjauan Kritis Perbankan Syariah. Darul Ilmi. Bogor. 2011.
10.  Wirdyaningsih. Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia. Kencana. Jakarta. 2005.


[1] Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 57.
[2]Mohammad Muslehuddin, Asuransi Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 3.
[3] Muhammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi Modern, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 5.
[4] Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Op. cit., h. 59.
[5] Asuransi Dalam Islam, Op. cit., h. 3.
[6] Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Peransuransian (Asuransi Syariah) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Dan Hak Asasi Manusia, 2010), h. 19.
[7] Muhammad Iqbal, Asuransi umum Syariah dalam praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 2.
[8] Selain surah al-Maidah: 2, masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan tentang asuransi di antaranya: al-Baqarah: 185 dan 261, Yusuf: 46-49, al-Taghaabun: 11, Luqman: 43, Ali Imran: 37, 145 dan 185, an-Nisa: 7.
[9] Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Op. cit., h. 105.
[10] Ibid, h. 114.
[11] Ibid, h. 122.
[12] Muhammad Arifin Bin Badri, Riba Dan Tinjauan Perbankan Syariah, (Bogor, Darul Ilmi, 2011), h. 78.
[13] Musthafa Dib Al-Bugha, Buku pintar Transaksi Syariah, (Jakarta: Hikmah, 2010), h. 84.
[14] Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), h.296.
[15] Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Peransuransian (Asuransi Syariah) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, Op. cit., h. 47.
[16] Wirdyaningsih, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2005), h. 227.
[17] Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Peransuransian (Asuransi Syariah) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, Op. cit., h. 39.
[18]  Ibid., h. 40.                                                                               
[19]  Ibid., h. 40.
[20] Ibid., h. 45.
[21] Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Op. cit., h.296.
[22] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah Di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2004), h. 130.
[23]Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Op. cit., h. 293.

2 komentar: