Jumat, 01 Februari 2013

Rahn



BAB I
PEDAHULUAN
A.    Latarbelakang
Gadai merupakan salah satu bentuk penjaminan dalam perjanjian pinjam meminjam. Dalam prakteknya penjaminan dalam bentuk gadai merupakan cara pinjam meminjam yang dianggap paling praktis oleh masyarakat. Praktek gadai dapat dilakukan oleh masyarakat umum karena tidak memerlukan suatu tertib administrasi yang rumit dan tidak juga diperlukan suatu analisa kredit yang mendalam. Akibat dari sangat mudahnya praktek gadai tersebut, maka tidak jarang praktek penjaminan gadai tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam dan merugikan para peminjam karena lemahnya posisi dari peminjam tersebut.
Dengan itu kami ingin menyajikan bagaimana gadai itu sendiri menurut ajaran Islam
Rumus Makalah
1.      Apa pengertian rahn?
2.      Apa rukun dan syarat rahn?
3.      Apa hikmah rahn?
B.     Tujuan makalah
1.      Mengetahui pengertian rahn
2.      Mengetahui rukun dan syarat rahn
3.      Mengetahui hikmah dari rahn



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pegertian Rahn
Rahn berasal dari kata يرهن-رهن artinya mengadaikan. Rahn secara bahasa (etimologi) mengadung arti الثبوت (tetap) atau  الحبس(menahan) . Sedang menurut istilah seperti yang di katakan Sayyid Sabiq dalam kitab فقه السنة :
هو جعل عين له قيمة في نظر الشرع وثيقة بدين بحيث يمكن اخذ ذلك الدين او اخذ من تلك العين
Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai menurut syari’at sebagai perjanjian (jaminan) dalam utang dengan sekira mungkin mengambil itu utang atau mengambil dari sebagian benda.
Sedangkan Syeikh Al-Basaam mendefinisikan, Al-Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.
Dasar rahn dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 283 :
وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوْضَةٌ
Artinya
dan kamu tidak memperdapati seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
Sedangkan dasar rahn dalam hadist
انه صلي الله عليه وسلم رهن درعه عند يهودي علي ثلاثين صاعا من شهر لاهله
Bahwanya Rasulullah Saw. menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi dengan tiga puluh gantang gandumuntuk keluarganya”
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya Nabi SAW membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya”. (HR Al Bukhori)
Para Ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak dan Daud (Al Dzohiri). Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan: Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid, ia menyatakan: Al-Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah berfirman:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”
Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya perbuatan Rasululloh SAW diatas dan sabda beliau:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Sistem utang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin..
B.     Rukun-rukun Rahn
Rukun-rukun Rahn ada tiga macam :
1.      Pelaku akad yaitu Ar-Rahin (orang yang menggadaikan) dan Al-Murtahin (orang yang menerima gadai)
Diantara sifat-sifat Ar-Rahin adalah baliqh, berakal, tidak dipaksa, tidak dalam status pengampuan (mahjur’alaih) dan dikenal bisa melunasi utang. Sedangkan washi[1] boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaannya manakala tindakan tersebut untuk melunasi utang dan memang diperlukan[2]. Menurut malik budak mukatab[3] dan orang yang diberi izin boleh menggadaikannya. Orang muflis (bangkrut) tidak boleh menggadaikan menurut Syafi’i dan Malik, tetapi Abu Hanifah membolehkan. Sedangkan Syarat Al-Murtahin adalah berakal, baliqh, tidak dipaksa, dan tidak termasuk orang yang mahjur alaih.
2.      Objek akad yaitu Al-marhun (barang yang digadaikan) dan Al-Marhun bih (pembiayaan)
Kaidahnya
كل ما جاز بيعه جاز رهنه في الديون اذا استقر ثبوتها في الذمة
“Setiap barang yang boleh dijual maka boleh digadaikan pada utang apabil tetap utang itu pada tanggungan”
Menurut Ulama Syafi’i barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat :
1.      Berupa utang, kerena barang utang tidak dapat digadaikan.
2.      Menjadi tetap, kerena sebelum tetap tidak dapat digadaikan.
3.      Barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang terjadi, baik wajib atau tidak.
3.      Akad (ijab dan qabul)
Syarat sahnya aqad dalam rahn ada empat macam[4] :
a.       Berakal
b.      Baliqh
c.       Bahwa barang yang digadaikan itu ada pada saat aqad
d.      Al-Murtahin atau wakilnya mengambil barang yang digadaikan
Menurut ulama Syafi’i syarat gadai ada tiga :
1.      Harus berupa barang kerena utang tidak bisa digadaikan
2.      Kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang
3.      Barang yang digadaikan bisa dijual manakala perlunasan utang yang sudah jatuh tempo
Syarat-syarat dari akad rahn
1.      Pemeliharaan dan penyimpanan jaminan
2.      Penjualan jaminan
Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar Ar-Rahin bahwa barang gadaian harus berada di tangan Ar-Murtahin.
C.    Syarat-syarat Rahn
Syarat-syarat rahn yang disebutkan dalam syara’ ada dua macam :
1.      Syarat sah
Syarat yang dimaksud syara’ dalam rahn (yakni dalam keadaannya sebagai rahn) ada dua macam :
a.       Syarat yang disepakati pada garis besarnya, tetapi diperselisihkan dalam teknis persyaratannya, yakni penerimaan barang gadai[5].
b.      Syarat yang keperluannya masih diperselisihkan.
Menurut malik diantara syarat sahnya kelangsungan penguasaan barang tetapi menurut syafi’i itu tidak menjadi syarat sahnya gadai[6]. Fuqaha sependapat tentang kebolehan gadai dalam keadaan berpergiaan,tetapi mereka berselisih pendapat dalam keadaan mukim. Jumhur fuqaha membolehkan, tetapi golongan Zhahiri dan mujtahid melarang gadai dalam keadaan mukim.
2.      Syarat batal
Syarat yang haram dan dilarang berdasarkan nash, apabila seseorang mengadaikan barang dengan syarat, ia akan membawa haknya pada waktu jatuh tempo dan jika tidak, maka barang tersebut menjadi milik Al-murtahin. Maka menurut fuqaha bahwa syarat tersebut mengharuskan batalnya gadai.
لا يغلق الرهن
“barang gadai itu tidak boleh dimiliki (Al-Murtahin)”(HR Ibnu majah dan Malik)
D.    Hak dan kewajiban Ar-Rahin dan Al-Murtahin Serta Perselisihan Keduanya Tentang Gadai

Hak Al-Murtahin adalah menahan barang gadai sampai Ar-Rahin melunasi kewajibannya. Jika Ar-Rahin tidak melaksanakan kewajibannya tersebut ketika jatuh tempo, maka Al-Murtahin bisa melaporkan kepada penguasa. Kemudian penguasa menjual barang barang gadai kepada Al-Murtahin[7].
      Jika Ar-Rahin menguasakan kepada Al-Murtahin untuk menjual barang gadaian pada saat jatuh tempo, maka hak itu dibolehkan[8].
      Hak dalam rahn menurut jumhur fuqaha berkaitan dengan keseluruhan hak pada barang yang digadaikan itu dan dengan sebagiannya[9]. Alasan fuqaha kerena barang tersebut tertahan oleh sesuatu hak (sebagian hak tersebut harus tertahan).
      Terjadi perbedaan pendapat antara fuqaha apakah tambahan pada barang gadai itu termasuk dalam barang gadai itu atau tidak?. Menurut Syafi’i tambahan yang terpisah dari barang gadai sama sekali tidak termasuk dalam barang gadai, jadi tambahannya menjadi hak milik si Al-Murtahin. Abu Hanifah dan Ats-Tsauri berpendapat bahwa seluruh tambahan masuk dalam barang gadai. Iman malik mengadakan perpisahan, bila tambahan yang terpisah bagi barang gadai yang memiliki bentuk dan rupa seperti barang tersebut, maka terrmasuk dalam barang gadai tersebut, seperti anak dari budak prempuan. Sedangkan tambahan yang tidak mengikuti bentuk dan rupa barang, maka tidak termasuk dalam barang gadai.
      Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa Al-Murtahin tidak boleh (hukumnya haram) mengambil manfaat dari barang gadai. Iman Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa apabila barang gadai itu berupa hewan, maka Al-Murtahin boleh mengambil air susu dan menungganginya dalam kadar yang seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan kepadanya. Kerena ada hadist Nabi :
انه قال : الرهن محلوب ومركوب
“sesungguhnya Nabi Saw. Bersabda,’barang gadai itu diambil susunya dan ditunggangi”
      Fuqaha berselisih pendapat apabila barang gadai itu musnah dari tangan Al-Murtahin, siapa yang menanggungnya?
      Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan kebanyakan ahli hadis berpendapat bahwa barang gadai itu adalah titipan dari Ar-Rahin. Jika terjadi kemusnahan di tangan Al-Murtahin, yang diperpegangi adalah kata-kata Al-Murtahin disertai dengan sumpahnya, bahwa ia tidak melalaikan dan menganiaya barang tersebut.
لا يغلق الرهن وهو ممن رهنه, له غنمه وعليه غرمه
“barang gadai itu tiadak dimiliki (oleh Al-Murtahin), dan ia dari Ar-Rahin. Baginya (Ar-Rahin) keuntungan dan kerugiaanya
 Abu Hanifah dan Jumhur Fuqaha Kufah berpendapat bahwa barang gadai itu dari Al-Murtahin dan kerugiannya pun dibebankan kepadanya dengan alasan bahwa barang tersebut merupakan barang yang kewajiban pelunasannya berkaitan dengan Al-Murtahin sejak semula.
ان رجلا ارتهن فرسا من رجل فنفق في يده فقال عليه الصلاة والسلام للمرتهن: ذهب حقك
“seorang lelaki menerima gadai kuda dari lelaki lain, kemudian kuda tersebut hilang ditangannya. Maka bersabdalah Nabi Saw. kepada penerima gadai,’Hilang hakmu”
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa Ar-Rahin tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai. Tetapi segolongan fuqaha berpendapat bahwa barang gadai itu bisa dijual.
Apabila terjadi perselisihan antara Ar-Rahin dan Al-Murtahin tentang nilai utang yang menjadi dasar terjadinya akad gadai, para fuqaha berbeda pendapat. Menurut Malik, yang dipegang ialah kata-kata Al-Murtahin (berkaitan dengan nilai hak (utang) yang disebutkan selama harga barang gadai tidak kurang dari kadar utang yang disebutkan itu, tapi bila melebihi harga barang gadai, maka yang diperpegangi ialah kata-kata Ar-Rahin.
Menurut Syafi’i, Abu Hanifah Ats-Tsauri yang diperpegangi berkenaan dengan kadar kewajiban utang yang harus dipenuhi adalah kata-kata Al-Murtahin[10].
E.     Hikmah Rahn
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak dan tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya dengan ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.
Oleh karena itu Allah mensyariatkan Rahn (gadai) untuk kemaslahatan Al-Rahin, pemberi hutangan (Al-Murtahin) dan masyarakat.
Untuk Ar-Rahin ia mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya biasa menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan kegundahan dihatinya serta kadang ia biasa berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Sedangkan Al-Murtahin akan menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar’i dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat adalah memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang diantara manusia, karena ini termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. D isana ada manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan penguasa.


BAB III
KESIMPULAN
Akad dalam gadai adalah akad amanah dan ta'awun (saling tolong menolong), bahwa pihak I yaitu Ar-Rahin, kepada pihak II yaitu Al-Murtahin dan meminjam sejumlah uang (yang jumlahnya tidak harus sama persis dengan nilai barang).
1.      Jika ternyata Ar-Rahin tidak membayar hutangnya pada waktu yang ditentukan maka barang yang digadaikan dapat di jual atas sepengetahuan Ar-Rahin, dan uang hasil penjualan dipakai untuk membayar hutang Ar-Rahin, jika ternyata hasil penjualan itu lebih besar daripada hutangnya, maka sisanya dikembalikan kembali kepada Ar-Rahin dan jika kurang maka Ar-Rahin harus melunasi sisa hutangnya kepada Al-Murtahin.
2.      Tidak boleh adanya pelunasan hutang melebihi jumlah sebenarnya karena termasuk riba.
3.      Barang gadaian tidak boleh dimanfaatkan oleh Al-Murtahin.
4.      Pemanfaat dengan mengambil keuntungan dari pemanfaatan oleh Al-Murtahin itu dilarang walaupun disetujui Ar-Rahin, karena akan menambah beban hutang dan itu termasuk riba.
5.      Jika Ar-Rahin telah melunasi hutangnya, maka Al-Murtahin harus mengembalikan barang gadai tersebut, tanpa mengurangi sedikitpun dari barang itu, kecuali beberapa perubahan sifat yang wajar seperti terkelupasnya cat karena usia barang dan lain-lain.
6.      Ar-Rahin boleh memberikan imbalan atas penyimpanan, perawatan dan penjagaan barang gadai, dengan tidak menentukan berapa persen dari hutang, dan itu dihitung sebagai kebaikan Al-Murtahin.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Sayid Sabiq. Fiqh Al-Sunnah
2.      Ibnu Rusyd. 2007. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: pustaka Amani
3.      Ibrahim. khasiyah baijuri.
4.      Muhammad bin Umar. Nihayatul Zain
5.      Ascarya. 2008. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta : RajaGrafindo Persada

     


[1] orang yang dipesan untuk mengurus wasiat
[2] Pendapat ini menurut Imam Malik. Menurut Syafi’i washi dibolehkan menggadaikan kerena adanya yang jelas.
[3] Budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil
[4] Fiqh sunnah hal 132
[5] Berdasarkan firman Allah “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh Al-Murtahin)
[6] Alasannya jika sudah ada penguasaan, maka gadai sudah terjadi dan sah. Kerenanya Al-Murtahin boleh meminjamkannya atau melakukan tindakan lain.
[7] Namun jika tidak menanggapi Al-Murtahin  untuk dijual, maka penguasa menasihatinya. Demikian pula jika Ar-Rahin bepergian.
[8] Tetapi Iman Malik memakruhkan kecuali perkaranya diajukan kepada penguasa.
[9] Contohnya ar-rahn menggadaikan sejumlah barang, kemudian dia melunasi sebagiannya. Maka keseluruhan barang gadai masih tetap berada di tangan Al-Murtahin sampai ia menerima haknya secara keseluruhan
[10] Mereka bepegangan bahwa Al-Murtahin merupakan pihak tergugat, sedangkan Al-Rahin merupakan pihak penggugat. Kerena itu Ar-Rahin harus bersumpah sesuai dengan hadis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar