RUKUN-RUKUN AQAD
Setelah diketahui bahwa akad suatu perbuatan
yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan
masing-masing, maka timbul bagi kedua belah pihak haq dan iltijam
yang diwujudkan oleh aqad.
A. Rukun-rukun Aqad
:
1. Aqid ialah orang yang berakal, terkadang
masing-masing pihak terdiri satu orang atau beberapa orang. Seseorang yang
berakad orang yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang merupakan wakil dari
yang memiliki haq. Disyaratkan bagi orang yang hendak melakukan akad :
a. Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk.
b. Bebas memilih
c. Akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total)
bila tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hal pilih)[1].
2. Ma’qud alaih ialah benda-benda yang diakadkan,
seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad
hibah(pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad
kafalah. Syarat-syarat benda yang diakadkan :
a. Barang tersebut harus suci atau meskipun
terkena najis, bisa dibersihkan.
b. Barang tersebut harus bisa digunakan dengan
cara yang disyariatkan.
c. Komoditi harus bisa diserahterimakan.
d. Barang yang dijual harus merupakan milik
sempurna dari orang yang melakukan penjualan.
e. Harus diketahui wujudnya oleh orang yang
melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual langsung[2].
3. Maudhu’ al’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan
akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam aqad jual beli
tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan
diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindahkan barang dari pemberi kepada
yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (iwadh). Tujuan pokok
akad ijarah adalah memberi manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok i’arah
adalah memberi manfaat dari seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.
4. Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab (ungkapan
penyerahan barang) ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang
yang berakad sebagai gambaran kehendak dalam mengadakan akad, sedangkan qabul
(penerimaan) ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang
diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa
ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli
dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan.
Menurut ulama hanafiyah[3]
Ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang
menunjukan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan
maupun yang menerima.
Qabul adalah orang yang berrkata setelah orang
yang mengucapkan ijab, yang menunjukan keridhaan atas ucapan orang pertama.
Menurut fuqaha hanafiah, rukun
akad hanya satu, yaitu Shighat al’aqd, menurut mereka al-‘aqidain dan
mahallul’aqd bukan sebagai rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat
akad[4].
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sighat
al-‘Aqd ialah:
a. Shighat
al-aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab qabul harus jelas
dan tidak memiliki banyak pengertian.
b. Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Tidak
boleh antara berijab dan yang menerima berbeda lafazh.adanya kesimpangsiuran
dalam ijab dan qabul akan menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh agama
islam kerena bertentangan dengan ishlah di antara manusia.
c. Mengambarkan kesungguhan kemauan dari
pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak kerena diancam atau
ditakut-takuti oleh orang lain kerena dalam tijarah harus saling ridha.
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam
mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak
untuk berakad. Para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad.
a. Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua
aqid berjauhan tempatnya, maka ijab qabul boleh dengan cara kitabah. Atas dasar
inilah para fuqaha menbentuk kaidah:
الكتابة كالخطاب
Tulisan itu sama dengan ucapan. Dengan ketentuan kitabah
tersebut dapat dipahami kedua belah pihak dengan jelas.
b. Isyarat, bagi orang-orang tertentu akad atau
ijab dan qabul tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya
seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab qabul dengan bahasa, orang yang
tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab dan kabul dengan tulisan.
Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab
qabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatlah
kaidah :
الاشارة المعهودوة لاخرس كالبيان باللسان
Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan
lidah
c.
Ta’athi (saling memberi), seperti seseorang yang
melakukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan
kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalan. Misalnya, seorang pengail
ikan sering memberikan ikan hasil pancingannya kepada seorang petani, petani
tersebut memberikan beberapa liter beras kepada pengail yang memberikan ikan,
tanpa disebutkan besar imbalan yang dikehendaki oleh pemberi ikan.
Proses di atas dinamakan ta’athi, tetapi menurut sebagian
ulama jual beli seperti itu tidak dibenarkan.
d.
Lisan al hal, menurut sebagian ulama, apabila seseorang
meninggalkan barang-barang di hadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang
ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada
akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang dengan yang
menghadapi letakan barang titipan dengan jalan dalalat al-hal.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila[5] :
a. Pejual menarik kembail ucapannya sebelum
terdapat qabul dari si pemberi
b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua belah
pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab
dan qabul dianggap batal.
d. Kedua pihak atau salah satu, hilang
ahliyah-nya seebelum terjadi kesepakatan.
e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya
qabul atau kesepakatan.
B. SYARAT-SYARAT
AQAD
Setiap pmbentukan aqad atau akad mempunyai
syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadi
akad ada dua macam.
Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu
syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu
syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini
bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping
syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam
berbagai macam akad.
1. Kedua orang yang melakukan akad cakap
bertindak(ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang
gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur) kerenaboros atau yang
lainnya.
2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima
hukumnya.
3. Akad itu diizinkan oleh syara’ dilakukan oleh
orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki
barang.
4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh
syara’ seperti jual beli mulasamah.
5. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah
sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah.
6. Ijab itu berrjalan terus, tidak dicabut
sebelum terjadi kabul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya
sebelum kabul, maka batallah ijabnya.
7. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila
seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut
menjadi batal.
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu
kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh
seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai
dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf
sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh
dirinya, maupun sebagai pengganti (menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini disyaratkan antara lain:
1. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan
orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya
yang asli.
2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan
kepemilikan orang lain[6].
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli,
seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad
batal atau dikembalikan[7].
Referensi utama
Fiqih Muammalah Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar