Jumat, 01 Februari 2013

rukun-rukun akad

RUKUN-RUKUN AQAD

Setelah diketahui bahwa akad suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul bagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh aqad.
A.    Rukun-rukun Aqad :
1.      Aqid ialah orang yang berakal, terkadang masing-masing pihak terdiri satu orang atau beberapa orang. Seseorang yang berakad orang yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang merupakan wakil dari yang memiliki haq. Disyaratkan bagi orang yang hendak melakukan akad :
a.       Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk.
b.      Bebas memilih
c.       Akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hal pilih)[1].
2.      Ma’qud alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah(pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah. Syarat-syarat benda yang diakadkan :
a.       Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan.
b.      Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan.
c.       Komoditi harus bisa diserahterimakan.
d.      Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan.
e.       Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual langsung[2].
3.      Maudhu’ al’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam aqad jual beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (iwadh). Tujuan pokok akad ijarah adalah memberi manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok i’arah adalah memberi manfaat dari seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.
4.      Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab (ungkapan penyerahan barang) ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendak dalam mengadakan akad, sedangkan qabul (penerimaan) ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan.
Menurut ulama hanafiyah[3]
      Ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima.
Qabul adalah orang yang berrkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukan keridhaan atas ucapan orang pertama.
      Menurut fuqaha hanafiah, rukun akad hanya satu, yaitu Shighat al’aqd, menurut mereka al-‘aqidain dan mahallul’aqd bukan sebagai rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad[4].
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sighat al-‘Aqd ialah:
a.        Shighat al-aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab qabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian.
b.      Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Tidak boleh antara berijab dan yang menerima berbeda lafazh.adanya kesimpangsiuran dalam ijab dan qabul akan menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh agama islam kerena bertentangan dengan ishlah di antara manusia.
c.        Mengambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak kerena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain kerena dalam tijarah harus saling ridha.
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad.
a.       Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua aqid berjauhan tempatnya, maka ijab qabul boleh dengan cara kitabah. Atas dasar inilah para fuqaha menbentuk kaidah:
الكتابة كالخطاب    
     Tulisan itu sama dengan ucapan. Dengan ketentuan kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak dengan jelas.
b.      Isyarat, bagi orang-orang tertentu akad atau ijab dan qabul tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab qabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab dan kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab qabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau  akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatlah kaidah :
الاشارة المعهودوة لاخرس كالبيان باللسان
Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah
c.    Ta’athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalan. Misalnya, seorang pengail ikan sering memberikan ikan hasil pancingannya kepada seorang petani, petani tersebut memberikan beberapa liter beras kepada pengail yang memberikan ikan, tanpa disebutkan besar imbalan yang dikehendaki oleh pemberi ikan.
           Proses di atas dinamakan ta’athi, tetapi menurut sebagian ulama jual beli seperti itu tidak dibenarkan.
d.   Lisan al hal, menurut sebagian ulama, apabila seseorang meninggalkan barang-barang di hadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang dengan yang menghadapi letakan barang titipan dengan jalan dalalat al-hal.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila[5] :
a.       Pejual menarik kembail ucapannya sebelum terdapat qabul dari si pemberi
b.      Adanya penolakan ijab dari si pembeli
c.       Berakhirnya majlis akad. Jika kedua belah pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qabul dianggap batal.
d.      Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah-nya seebelum terjadi kesepakatan.
e.       Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qabul atau kesepakatan.
B.     SYARAT-SYARAT AQAD
Setiap pmbentukan aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadi akad ada dua macam.
Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad.
1.      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak(ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur) kerenaboros atau yang lainnya.
2.      Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diizinkan oleh syara’ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4.      Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’ seperti jual beli mulasamah.
5.      Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah.
6.      Ijab itu berrjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.
7.      Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengganti (menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini disyaratkan antara lain:
1.      Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
2.      Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain[6].
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan[7].



[1] Fikih ekonomi keuangan islam, Prof. Dr. Shalah ash-Shawi & Prof. Dr. Abdullah al-mushlih.
[2] Fikih ekonomi keuangan islam, Prof. Dr. Shalah ash-Shawi & Prof. Dr. Abdullah al-mushlih.
[3] Fiqih muamalat, Prof. DR. H. Rachmat syarei, MA.
[4] Fiqh muamalat kantekstual, Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag.
[5] Suday, june 6, 2010.http://mathedu-unila.blogspot.com/2010/06/rukun-akad.html
[6] Fiqih muamalat, Prof. DR. H. Rachmat syarei, MA.
Referensi utama Fiqih Muammalah Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar