BAB I
PEDAHULUAN
Latarbelakang
Tatkala membahas Al Qur’an, kita mengemukakan bahwa Kitab Allah ini
bukan sekedar shuhuf petunjuk
untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa turunnya, dan yang
dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut beliau. Al Qur’an
merupakan sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui
manusia, dan dihimpun dalam sebuah sistem. Meskipun
Al Qur’an menegaskan mengenai dirinya sebagai Kitab yang menerangkan segala
sesuatu, tetapi tidak semua masalah disampaikannya secara tuntas, sejak dari
prinsip dasar sampai dengan operasionalisasinya. Rupanya Allah menetapkan untuk
memfungsikan Rasul bukan sekedar membacakan Kitab-Nya kepada ummat, tetapi juga
menerangkan isinya dan memberi contoh pengamalannya di dalam kehidupan
sehari-hari.
Karena itu sesudah Al Qur’an kaum mukminin menerima As Sunnah – jalan atau tradisi Rasul. Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting kepada ummat, maka berita tentang sikap dan akhlak Rasulullah SAW itu dikenal sebagai Al Hadits yang makna harfiahnya adalah berita. Sehubungan dengan itu Rasulullah menyatakan: “Aku tinggalkan dua hal untuk kamu sekalian; maka kamu tidak akan tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua hal itu adalah Al Qur’an dan Sunnahku”. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dikemukakan sabda beliau: “Barangsiapa mencintai sunnahku berarti dia mencintai aku, dan barangsiapa mencintai aku maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga”.
Karena itu sesudah Al Qur’an kaum mukminin menerima As Sunnah – jalan atau tradisi Rasul. Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting kepada ummat, maka berita tentang sikap dan akhlak Rasulullah SAW itu dikenal sebagai Al Hadits yang makna harfiahnya adalah berita. Sehubungan dengan itu Rasulullah menyatakan: “Aku tinggalkan dua hal untuk kamu sekalian; maka kamu tidak akan tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua hal itu adalah Al Qur’an dan Sunnahku”. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dikemukakan sabda beliau: “Barangsiapa mencintai sunnahku berarti dia mencintai aku, dan barangsiapa mencintai aku maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga”.
Rumus Makalah
1.
Apa yang dimaksud dengan hadits ?
2.
Bagaimana kedudukan sebuah hadits sebagai sumber dasar dalam agama Islam ?
Tujuan Pembuatan Makalah
1.
Supaya mengetahui apa yang dimaksud dengan hadits
2.
Mengetahui kedudukan hadits dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Hadits[1]
menurut bahasa (etimologi) adalah perkataan atau ucapan Hadits menurut syar’i adalah segala sesuatu yang berasal
dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan penetapan pengakuan (takrir)[2]. Hadits berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-quran
yang kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Al-quran.
Hadits atau Sunnah dibagi menjadi
empat macam, yaitu:
1.
Sunnah
Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah yang ada hubungannya dengan pembinaan hukum Islam
2.
Sunnah
Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah yang diberitakan para sahabat mengenai soal-soal ibadah
dan lain
Ulama Usul Fikih menetapkan perbuatan Nabi
terbagi atas beberapa bagian :
1.
Jibilli (tabi’at) yaitu semua perbuatan Nabi yang termasuk urusan tabi’at seperti
makan, minum dan lain-lain. Maka hukumnya mubah baik untuk perorangan maupun
umatnya
2.
Qurb (pendekatan)
seperti ibadah shalat, puasa, shadaqah atau yang seumpamanya
3.
Mu’amalah (hubungan dengan sesama manusia) seperti jual beli, perkawinan dan
lain-lain
3.
Sunnah
Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan
ataupun perbuatan orang lain baik dengan lisan beliau, sikap diam beliau tanpa melakukan sanggahan. Persetujuan Nabi
ini menunjukan suatu kebolehan.
4. Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan Nabi akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan sampai beliau wafat.
B. Kedudukan Hadits Dalam Islam
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap
perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa
mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan demikian pada hakekatnya
Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur’an
merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya
langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan
kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada ummat dengan cara beliau sendiri.
.......وانزلنا اليك الذكر
لتبين للناس ما نزل اليهم...........(النحل 44)
“kami telah menurunan
peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu menerangkan kepada
segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka (QS. An-Nahl 44).
..ما اتكم الرسول فخذوه
وما نهكم عنه فانتهوا........(الحشر 7)
“apa-apa yang didatangkan oleh
Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang dilarang bagimu hendaklah
kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7)
Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/
hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an. Sunnah itu diperintahkan oleh Allah
untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan demikian, sunnah adalah
menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan kesamarannya. Allah
menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan beriman kepada
Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah SAW dan
dengan putusannya itu mereka merasa senang.
Iman Asy-Syathibi menerangkan dalam karyanya Al-Muwafaqat
bahwa sunnah dibawah derajat Al-Quran dengan alasan :
1. As-sunnah menjadi bayan (keterangan)
Al-Qur’an.
2. As-sunnah menerangkan hukum-hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an, bukan Al-Qur’an menerangkan hukum sunnah.
3. As-sunnah menguatkan kemutlakan Al-Qur’an,
mengkhususkan keumuman Al-Qur’an dan mengihtimalkan lahirnya Al-Qur’an[3].
Dalam hal mengishtinbatkan hukum, maka
sunnah mempunyai batas-batas :
1. Sunnah mensyari’atkan apa-apa yang
disyari’atkan oleh Allah SWT agar diikuti dan dilaksanakan[4].
2. Sunnah Nabi menerangkan apa-apa yang
disyari’atkan oleh Al-Qur’an dalam hal menjelaskan ayat-ayat yang umum, mentabyinkan
ayat-ayat yang muhtamil dan mentaqyidkan ayat-ayat yang mutlak.
3. Sunnah berwenang membuat berbagai macam hukum
baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Untuk hal ini, Nabi saw berpedoman
kepada ilham dan petunjuk dari Allah dan ada pula yang berdasarkan ijtihad
Rasulullah sendiri.
Imam Syafi’i menguraikan kedudukan sunnah
terhadap Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Sunnah itu bayanut tafshil, keterangan
yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.
2. Sunnah itu bayanut takhsis yaitu
keterangan yang mentakhsiskan segala keumuman Al-Qur’an.
3. Sunnah itu bayanut ta’yin yaitu
keterangan yang menentukan mana yang dimaksud dari dua kata atau tiga macam
persoalan yang semuanya mungkin untuk dijelaskan secara terang.
4. Sunnah itu bayanut ta’kid yaitu keterangan
sunnah yang bersesuaian benar dengan petunjuk Al-Qur’an dari segala jurusan dan
ia menguatkan apa yang dipaparkan ayat-ayat Al-Qur’an.
5. Sunnah itu bayanut tafsir yaitu
keterangan sesuatu hukum dari Al-Qur’an, yang menerangkan apa yang dimaksud
oleh ayat-ayat yang tersebut dalam Al-Qur’an.
6. Sunnah itu bayanut tasyri yaitu
keterangan sesuatu hukum yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an.
Dalam menyampaikan Al Qur’an, Rasulullah SAW hanya meneruskan apa
yang diwahyukan kepada beliau, tanpa hak untuk menambah, mengurangi atau
mengubah satu patah katapun. Sedangkan dalam mendakwahkan petunjuk selain
beliau menyampaikannya dengan ucapan, dalam hal itu
kata-kata dan susunannya berasal dari Muhammad SAW sendiri. Hadits Qudsi,
walaupun dimulai dengan pernyataan: “Allah berfirman”, kalimatnya tetap
dari Rasul. Beliau hanya menerangkan firman Allah yang beliau terima sebagai
ilham. Pada waktu lain beliau mengemukakan petunjuk Allah itu dengan perbuatan,
termasuk dengan berdiam diri ketika melihat perbuatan seseorang. Berdiam diri
itu merupakan taqrir atau ijin bagi yang hendak
melakukan perbuatan tersebut. Muhammad
SAW meskipun menjadi Nabi yang menerima wahyu, sekaligus seorang Rasul, utusan
yang bertugas menyampaikan wahyu dan petunjuk lain yang diilhamkan kepada beliau,
tetap manusia biasa yang mempunyai keinginan, pikiran dan pendapat.
Maka dalam kehidupan sehari-hari, termasuk
dalam menunaikan tugasnya, beliau juga ber-ijtihad dengan menggunakan akalnya.
Ketika menyampaikan ijtihad-nya Muhammad dapat
dibantah, bahkan bersedia mengubah ketetapannya bila ternyata ada ijtihad lain
yang lebih baik. Tetapi tatkala melaksanakan petunjuk Allah, tidak ada siapapun
yang boleh turut campur apa lagi mengoreksinya.
Para ulama menerangkan beberapa fungsi Al Hadits terhadap Al Qur’an :
1. merinci atau mengoperasionalkan petunjuk yang Al Qur’an hanya
membicarakan pokoknya saja[5].
2. menegaskan suatu ketetapan yang telah dinyatakan di dalam Al Quran[6].
3. menerangkan tujuan hukum dari suatu ketetapan Al Qur’an[7].
Berbeda dengan Al Qur’an, sebagian besar Al Hadits tidak ditulis
pada waktu Rasulullah SAW masih hidup kerena disebabkan beberapa faktor :
1. karena Rasul sendiri pernah melarangnya.
Para ulama hadits menganggap larangan ini disebabkan oleh
kekuatiran, bahwa catatan Al Hadits akan bercampur dengan Al Qur’an, karena
waktu itu belum ada media tulis yang baik. Buktinya, Rasul sendiri di kemudian
hari mengijinkan beberapa sahabat yang terpercaya, menulis
keterangan-keterangan beliau.
2. Jarang sekali Rasulullah menerangkan, apakah ucapan dan perbuatan
beliau itu atas petunjuk Allah atau hanya ijitihad beliau sendiri.
3. Pada waktu itu ummat sibuk berperang dan berdakwah. Maka potensi
penulis yang tersedia, dimanfaatkan dengan prioritas menulis Al Qur’an, yang
Rasul memang memerintahkannya.
4. Rasulullah SAW pada masa itu masih berada di tengah ummat, sehingga
bila ada yang memerlukan keterangan atau penjelasan tentang pernyataan Al
Qur’an, dia dapat bertanya langsung kepada beliau.
Kenyataan bahwa tulisan mengenai Al Hadits sangat langka, menimbulkan
kesulitan ketika Rasulullah SAW telah wafat.
Apa lagi tatkala sahabat-sahabat yang dekat dengan beliau dan yang menyaksikan
kehidupan sehari-hari beliau, telah wafat pula. Padahal umat memerlukan
pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah di
dalam menyelesaikan berbagai masalah, yang petunjuk operasionalnya tidak
ditemui dalam Al-Qur’an.
Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz (menjabat tahun 99-101 H),
mengambil inisiatif memerintahkan ummat untuk menuliskan segala sesuatu yang
diucapkan dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sejak perintah dikeluarkan, banyak
sekali hadits yang ditulis dan disebarluaskan. Persoalan timbul kemudian,
ketika banyak hadits yang saling bertentangan, dan yang isinya diragukan. Maka
para ulama kemudian melakukan seleksi hadits,
dengan menyusun metode untuk itu. Yang terkemuka dalam pengembangan metode
sekaligus penerapannya, antara lain Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim
(202-261 H), Abu Musa Muhammad at-Tirmidzi (209-279 H), Abu Dawud (202-275 H),
Ibnu Majah (209-273 H), dan An Nasa’i (215-303 H). Umumnya ulama hadits
beranggapan, metode Bukhari merupakan yang paling hati-hati dalam prosedur
seleksi hadits.
Meskipun ada perbedaan di antara berbagai metode yang digunakan,
secara umum dapat dikatakan bahwa ada tiga unsur yang diperiksa dalam proses
seleksi hadits:
1.
Sanad, yaitu hubungan antara orang yang mendengar atau menyaksikan
sendiri ucapan maupun perbuatan Rasul secara berantai
sampai kepada yang menuliskannya. Urutan itu harus menyambung tanpa ada
keraguan sama sekali.
2.
Rawi, yaitu orang-orang yang disebut dalam garis sanad; mereka harus
terpercaya dalam arti kukuh imannya, baik ibadahnya, luhur akhlaknya, dan
panjang ingatannya.
3.
Matan (isi hadits), yaitu
tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lain yang lebih tinggi tingkat
kepercayaannya.
Dengan pemeriksaan yang saksama terhadap sanad,
dapat diketahui apakah sebuah hadits itu mutawatir dikemukakan di dalam banyak sekali jalur sanad,
atau masyhur
dinyatakan di dalam cukup banyak sanad, atau ahad
hanya ditemukan dalam sedikit jalur sanad. Hadist mutawatir
tentu lebih mudah dipercayai dibanding masyhur, apa lagi hadits ahad.
Selanjutnya sesudah mempertimbangkan hasil penelitian terhadap semua unsur, dapat ditetapkan mana hadits yang shahih, mana yang hasan (cukup baik) tetapi tidak sampai pada taraf shahih, dan mana yang dhaif (lemah).
Selanjutnya sesudah mempertimbangkan hasil penelitian terhadap semua unsur, dapat ditetapkan mana hadits yang shahih, mana yang hasan (cukup baik) tetapi tidak sampai pada taraf shahih, dan mana yang dhaif (lemah).
BAB III
Kesimpulan
Al-Hadits merupakan sumber kedua bagi ajaran
Islam, dialah sumber yang paling luas, yang terinci penjelasannya, dan paling
lengkap susunannya. Sunnah memberikan perhatian yang penuh dalam menjelaskan
Al-Qur’an. Oleh sebab itu, tidaklah seharusnya dalam urusan istinbat hukum
Islam, orang mencukupkan Al-Qur’an saja, tanpa membutuhkan penjelasan dari
As-Sunnah.
Maka dari itulah, jangan terlalu mudah kita
mengambil suatu hukum dari Al-Qur’an tanpa melihat terlebih dahulu apakah ada
hadits yang menjelaskan tentang ayat tersebut.
Marilah kita gali potensi kemampuan kita dalam
memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits agar kita mampu memahami agama dengan baik dan
benar.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rahman, Zufran. 1995.”Kajian
Sunnah Nabi saw Sebagai Sumber Hukum Islam”. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
2.
Aghnides, Nicolas P. 1984.”Pengantar Ilmu Hukm Islam”. Solo: Ramadhani
3.
http://abdullah21.wordpress.com/2008/10/13/sumber-%E2%80%93-sumber-ajaran-islam/
[1] Hadits dan sunnah menurut para muhaddisin (mutaakhirin)
adalah mutasawiyain (sinonim) :berbeda lafadz tetapi sama pengertian.
[2] Baik berupa pengajaran,
sifat, kelakuan, perjalanan hidup saat sebelum nabi diangkat menjadi rasul
maupun sesudahnya.
[5] Contohnya, Al Qur’an memerintahkan orang yang beriman untuk menunaikan shalat [QS
Al ‘Ankabut (20): 45], Al Hadits menerangkan tatacara Rasul dalam menunaikan
shalat. Beliapun menegaskan: “Shalatkah kamu dengan cara sebagaimana kamu
melihat aku shalat”.
[6]Contohnya, Al Qur’an
menerangkan bahwa tanda permulaan dan akhir puasa Ramadhan adalah ketika orang
menyaksikan hilal – bulan baru [QS Al Baqarah (2): 185], Al Hadits menandaskan
hal tersebut.
[7] Contohnya, Al Qur’an mewajibkan orang-orang beriman membayar zakat [QS
At Taubah (9): 34], Al Hadits menerangkan bahwa membayar zakat merupakan
prosedur seorang Mukmin untuk membersihkan harta dari yang bukan haknya.